TRIBUNNEWS.COM - Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam sebuah wawancara buka suara tentang kesepakatan nuklir Iran 2015.
Menurut Joe Biden, kesepakatan nuklir Iran merupakan cara terbaik untuk menghindari perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah.
Dalam wawancara dengan New York Times yang diterbitkan pada Rabu (1/12/2020), Joe Biden menegaskan, bahwa AS akan bergabung lagi dengan perjanjian nuklir Iran, jika Teheran kembali ke "kepatuhan ketat".
Mengutip Al Jazeera, kesepakatan nuklir Iran atau yang secara resmi lebih dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Baca juga: Iran Tuduh Barat Dukung Israel atas Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Mohsen Fakhrizadeh
Baca juga: Ahli: Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Iran Tak Akan Gagalkan Program Nuklir
Di bawah perjanjian itu, Iran telah setuju untuk membatasi pengembangan nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi.
Biden menerangkan, kembalinya AS ke dalam perjanjian nuklir, akan mencakup pencabutan sanksi yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump.
Langkah ini disebut Biden sebagai "titik awal melanjutkan negosiasi".
Pada 2018 lalu, Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, tak lama setelah itu, dia memberlakukan sanksi 'tekanan maksimum' terhadap Teheran.
"Faktanya adalah cara terbaik untuk mencapai stabilitas di kawasan yakni dengan berususan dengan program nuklir," ucap Biden.
Baca juga: Bentrok Parlemen dan Pemerintah Iran, Bagaimana Nasib Perjanjian Nuklir Iran?
Perlombaan Senjata
Joe Biden akan dilantik pada 20 Januari 2021, memperingatkan, jika Iran mendapatkan senjata nuklir, itu akan memicu perlombaan senjata dengan kekuatan regional, termasuk Arab Saudi, Turki dan Mesir.
"Hal terakhir yang kita butuhkan adalah peningkatan kemampuan nuklir," Biden.
Biden juga mengakui bahwa berdasarkan kesepakatan nuklir tersebut, Iran akan dikenakan sanksi 'snapback' jika terbukti tak mematuhi aturannya.
Sejak Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, Teheran dilaporkan terus melanggar ketentuan perjanjian dengan alasan AS sudah melanggar lebih dulu.
Baca juga: Eropa Didesak Tetapkan Peta Jalan Kesepakatan Nuklir Iran dan Tarik AS untuk Rekonsiliasi
Rencana Biden Kembali Lagi ke Kesepakatan Nuklir
Saat berkampanye, Biden menjelaskan rencananya untuk bergabung kembali dengan kesepakatan nuklir Iran, jika dia terpilih sebagai Presiden AS menggantian Donald Trump.
Tetapi, setelah hidup di bawah sanksi 'Tekanan Maksimum' yang dijatuhkan pemerintahan Trump, Teheran tak mudah mempercayai perkataan Amerika Serikat.
Seorang ahli dari Yayasan Pertahanan Demokrasi (Defense of Democracie) Behnam Ben Taleblu memberikan komentarnya lewat CNBC tak lama setelah Pilpres AS.
Baca juga: Iran Desak Presiden Terpilih AS Cabut Sanksi dan Gabung Lagi dengan Kesepakatan Nuklir
Baca juga: Tak Punya Pilihan, Trio Eropa Cetuskan Mekanisme Sengketa dalam Kesepakatan Nuklir Iran
"Tidak peduli betapa putus asa pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan, tanggapan Iran lebih penting," katanya.
Para pejabat Iran telah menyinggung kembali ke Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Jika AS ingin kembali dengan kesepakatan nuklir Iran, Teheran berharap Washington emberikan "kompensasi atas pukulan ekonomi di bawah sanksi Trump".
Ekonomi Iran mengalami kontraksi sekira enam persen setiap tahun, sejak Trump secara sepihak menarik dari dari kesepakatan multi-negara.
Baca juga:Makin Panas, Iran Ungkap Kemungkinan Langgar Kesepakatan Nuklir, Kecuali Amerika Mau Hapus Sanksi
Kata Analis Timur Tengah
Lebih lanjut, Ryan Bohl, analis Timur Tengah yang bekerja pada Stratfor turut buka suara.
"Kami mengharapkan pemerintahan Biden untuk mencoba duduk di meja perundingan dengan Iran," kata Bohl.
"Tetapi, hambatan utama adalah Iran sendiri mungkin tidak bersedia untuk bernegosiasi," tegas Bohl.
Sementara, rencana Washington untuk kembali bergabung dengan kesepakatan nuklir Iran disebut Dave Des Roches, Profesor di National Defense University di Washington, DC sebagai racung politik.
Pemerintahan Trump saat ini memberikan lebih banyak sanksi pada Republik Islam sebelum masa jabatannya berakhir.
"Iran tidak mungkin bersedia untuk kembali ke JCPOA tanpa beberapa konsesi AS, seperti pencabutan sanksi terhadap Hizbullah, program rudal, dan pelanggar HAM Iran," bantahnya.
Aktivitas proksi militan Iran di Timur Tengah dan pengayaan uraniumnya bukannya menurun, malah meningkat selama sanksi tekanan maksimum.
Baca juga: Jenderal Qasem Soleimani dibunuh, Iran tak lagi patuhi kesepakatan nuklir
Baca juga: Barack Obama Kritik Donald Trump Soal Penanganan Pandemi Covid-19 di AS: Tidak Terorganisir
Kesepakatan Nuklir bagi Biden
Secara terpisah, analis mengatakan, bagi Biden, kesepakatan nuklur Iran kemungkinan bukan prioritas utama pasca pelantikan.
Meraka memprediksi, enam bulan pertama kepemimpinan Biden akan digunakan untuk mengatasi pandemi virus corona dan ekonomi AS yang terpukul.
Kirsten Fontenrose, Direktur Prakarsa Keamanan Timur Tengah Scowcroft di Dewan Atlantik, mengatakan kepada CNBC, Biden mungkin akan menawarkan pencabutan sanki kepada Iran.
Tujuannya yakni, tambah Fontenrose, agar Amerika dapat masuk kemabli dalam pembicaraan nuklir.
"Kita mungkin harus mengharapkan Iran mengambil keuntungan dari mundurnya AS dari kesepakatan nuklir dan mencoba mendapatkan sebanyak yang bisa diambil dari pemerintahan Biden," tambahnya.
Sementara itu di Teheran, masih ada ketakuran jika Trump kembali mencalonkan diri pada 2024 mendatang.
"Apa pun kesepakatan yang kita lakukan dengan Joe Biden, presiden berikutnya bisa membatalkannya," kata Amir Handjani, rekan di Quincy Institute kepada CNBC.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)