TRIBUNNEWS.COM - Beberapa orang yang terlibat dalam pembunuhan ilmuwan nuklir terkemuka di Iran, Mohsen Fakhrizadeh, telah ditangkap.
Demikian keterangan seorang penasihat juru bicara Iran, Selasa (8/12/2020) menurut kantor berita ISNA.
Menurut laporan Reuters, Iran menyalahkan Israel atas kematian Fakhrizadeh.
Sosok Fakhrizadeh dipandang intelijen Barat sebagai kunci program senjata nuklir rahasia Iran.
Teheran sudah lama membantah tuduhan itu.
Namun, mengenai tuduhan pembunuhan, Israel sampai saat ini tidak menyangkal maupun membenarkan hal tersebut.
"Pelaku pembunuhan ini, beberapa di antaranya telah diidentifikasi dan bahkan ditangkap oleh dinas keamanan, tidak akan lolos dari keadilan," kata penasihat ISNA, Hossein Amir-Abdollahian, kepada Al Alam TV.
Baca juga: Pejabat Senior Teheran: Oposisi Iran dan Israel Dicurigai dalam Kasus Pembunuhan Ilmuwan Nuklir
Baca juga: Pangeran Saudi Kritik Pedas Israel atas Palestina: Mereka Hancurkan Rumah & Bunuh yang Diinginkan
"Apakah Zionis (Israel) mampu melakukan ini sendiri dan tanpa kerja sama, misalnya, dinas (intelijen) Amerika atau dinas lain? Mereka pasti tidak bisa melakukan itu," kata Amir-Abdollahian.
Iran telah merilis rincian kontradiktif soal kematian Fakhrizadeh.
Dia disergap pada 27 November siang waktu setempat di mobilnya saat berada di jalan raya dekat Ibukota Teheran.
Seorang komandan senior Pengawal Revolusi mengatakan, pembunuhan itu dilakukan dari jarak jauh.
Alatnya mengadopsi kecerdasan buatan dan senapan mesin yang dilengkapi sistem pintar yang dikendalikan satelit.
Para saksi sebelumnya mengatakan kepada televisi pemerintah bahwa sebuah truk meledak sebelum sekelompok pria bersenjata melepaskan tembakan ke mobil Fakhrizadeh.
Para ahli dan pejabat mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa pembunuhan Fakhrizadeh mengungkap celah keamanan, sehingga menunjukkan pasukan keamanan Iran mungkin telah disusupi.
Republik Islam ini disebut rentan terhadap serangan lebih lanjut.
Mengkhawatirkan, Iran Berjanji Membangun 2 Fasilitas Nuklir Baru
Kemungkinan balas dendam Iran atas pembunuhan Fakhrizadeh lebih dari sekadar peningkatan pengayaan uranium dan pengusiran pengawas senjata.
Dilansir Science Mag, dua ketentuan undang-undang yang disahkan parlemen Iran baru-baru ini membuat khawatir para ahli nonproliferasi pekan lalu.
Yang juga mengkhawatirkan adalah fasilitas baru yang diwajibkan hukum memungkinkan Iran membuat plutonium dan membuat uranium menjadi komponen bom.
Undang-undang tersebut dikerjakan selama berbulan-bulan, tetapi parlemen mempercepatnya setelah pembunuhan terhadap Mohsen Fakhrizadeh, menurut direktur unit penelitian Pengawal Revolusi berdasarkan International Atomic Energy Agency (IAEA).
Dewan Penjaga Iran minggu lalu menyetujui undang-undang tersebut.
Batasan potensial pada pemantauan IAEA menjadi perhatian khusus, kata seorang diplomat Eropa yang terlibat dalam negosiasi dengan Iran.
Baca juga: IRGC:Ilmuwan Nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh Dibunuh dengan Senjata Canggih yang Dikendalikan Satelit
Baca juga: Biden: Kesepakatan Nuklir Iran adalah Cara Terbaik untuk Hindari Perlombaan Senjata Timur Tengah
"IAEA akan menjadi buta di banyak bidang pembentukan nuklir Iran."
Pemerintahan Presiden Iran, Hassan Rouhani, menentang undang-undang tersebut.
Namun, Menteri Luar Negeri, Mohammad Javad Zarif, mengatakan pada forum internasional pekan lalu: "Kami akan menerapkannya. Kami tidak punya pilihan lain."
Namun, Zarif mencatat bahwa undang-undang tersebut dapat dibalik.
Iran bisa membatalkan undang-undang tersebut jika Amerika Serikat kembali ke kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi disebut Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Dengan kesepakatan itu, Iran berjanji menahan program nuklirnya dengan imbalan bantuan terhadap sanksi ekonomi.
Pemerintahan Trump menarik diri dari JCPOA pada 2018, sedangkan Presiden terpilih Joe Biden berjanji untuk bergabung kembali.
JCPOA, kata para pendukung, memperpanjang waktu yang dibutuhkan Iran untuk mengumpulkan bahan fosil yang cukup untuk sebuah bom, dari beberapa minggu menjadi setidaknya 1 tahun.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)