Ia kembali menegaskan bahwa ayahnya selama ini memang menjadi ancaman bagi AS di kawasan Timur Tengah.
"Ayah saya melakukan pekerjaannya dengan sangat baik dan membuat mereka (AS) sangat marah. Setiap rencana yang mereka buat di Timur Tengah, hancur. Dimanapun mereka mencoba untuk masuk dan menyakiti Iran, mereka gagal. Tentu saja bagi mereka, ayah saya adalah seorang monster besar, tapi ayah saya adalah penyelamat bagi kami," tutur Zaenab.
Menurutnya, pembunuhan terhadap Soleimani bukan merupakan kemenangan bagi AS, melainkan bumerang.
Karena peristiwa tersebut menimbulkan lebih banyak kemarahan dan kebencian terhadap AS di Iran, serta negara-negara lain di kawasan itu.
Pembunuhan tersebut, kata dia, justru membuat lebih banyak orang ingin mengikuti jejak Soleimani dan melawan AS.
"Setelah membunuh ayah saya, Amerika mengira semuanya akan bisa dihentikan, karena mereka membunuh Jenderal Soleimani, kekuatan Timur Tengah. Tapi mereka salah, mereka salah besar karena berpikir bahwa ini akan menjadi akhir dari Jenderal Soleimani, padahal ini adalah permulaan," tegas Zeinab.
Zeinab juga menyinggung salah satu tindakan permusuhan terbaru yang dilakukan AS terhadap Iran, yakni pembunuhan Ilmuwan nuklir terkemuka negara itu Mohsen Fakhrizadeh.
Mohsen dibunuh di dekat kota Teheran pada akhir November lalu.
"Mereka yang berada di balik pembunuhan itu tentu saja 'bukan manusia', bagaimana ilmuwan itu dibunuh oleh pembunuh berdarah dingin padahal ia hanya bekerja untuk negaranya sendiri," jelas Zeinab.
Ia bahkan mengecam aksi tersebut yang menurutnya sangat tidak manusiawi.
"Mereka begitu mudah membunuhnya di negaranya sendiri, di depan istrinya. Berani-beraninya mereka datang ke negara kami dan membunuh orang dengan begitu mudahnya di jalanan?" ujar Zeinab.