TRIBUNNEWS.COM, RIYADH - Sejak putra mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman ( MBS) menjanjikan Islam yang lebih 'terbuka dan moderat', perayaan Natal di "Negara Minyak" itu kian meriah.
Melansir Time of Israel, Senin (21/12/2020), perayaan Natal mencapai Arab Saudi sebagai 'tanda perubahan zaman'.
Pohon Natal dan ornamen berkilauan banyak dijual di toko-toko suvenir Saudi.
Beberapa tahun terakhir, penjualan suvenir Natal meriah dan secara bertahap merayap ke ibu kota Riyadh, sebuah realisasi dari janji pangeran MBS yang ingin mengubah kerajaan Teluk yang konservatif itu menjadi negara Islam yang terbuka dan moderat.
Baca juga: Persyaratan Swab Antigen Bikin Okupansi Hotel di Libur Natal Tak Sampai 30 Persen
Seorang penduduk Riyadh mengatakan kepada AFP, "Saya tak pernah membayangkan akan melihat ini," ujarnya mengacu pada pohon Natal, pakaian Sinterklas, serta ornamen Natal lainnya.
"Saya terkejut," kata warga yang menolak disebutkan namanya itu.
Hingga hampir tiga tahun yang lalu, hampir tidak mungkin untuk menjual barang-barang semacam itu secara terbuka di Arab Saudi, tetapi pihak berwenang telah memotong kekuasaan para ulama yang telah lama terkenal karena menegakkan tradisi Islam yang konservatif.
Selama beberapa dekade, penjualan ornamen Natal sebagian besar dilakukan sembunyi-sembunyi, dan orang-orang Kristen dari Filipina, Lebanon, dan negara-negara lain merayakannya secara tertutup atau di wilayah khusus ekspatriat.
"Sangat sulit untuk menemukan barang-barang Natal seperti itu di kerajaan," kata Mary, seorang ekspatriat Lebanon yang berbasis di Riyadh.
“Banyak teman saya biasa membelinya dari Lebanon atau Suriah dan menyelundupkannya ke negara itu [Saudi],” katanya.
Pada 2018, di tengah upaya liberalisasi Pangeran MBS, otoritas bea cukai Saudi memperingatkan di Twitter bahwa pohon Natal dilarang memasuki negara itu.
Tapi twit tersebut, yang menuai ejekan tajam di media daring, tampaknya tidak dihiraukan.
Tak hanya Natal, pernak-pernik Halloween juga dijual. Semua itu, dianggap kaum konservatif sebagai tradisi Amerika yang menyimpang dari ajaran Islam.
Kerajaan Arab Saudi telah lama dituduh mengekspor doktrin Wahabi Sunni yang ultra-konservatif ke seluruh dunia, tetapi perlahan-lahan mendorong pertukaran antar-agama.
Dalam beberapa tahun terakhir, Saudi bahkan menjadi tuan rumah para pejabat yang terkait dengan Vatikan serta tokoh-tokoh Yahudi.
Pejabat lokal mengatakan buku pelajaran sekolah, yang dulu terkenal merendahkan orang Yahudi dan non-Muslim lainnya sebagai "babi" dan "kera," sedang direvisi sebagai bagian dari kampanye Pangeran MBS untuk memerangi ekstremisme dalam pendidikan.
Pewaris takhta Saudi itu telah mengekang pengaruh polisi agama yang dulu sangat kuat, karena dia mengizinkan konser musik campuran gender, bioskop, dan hiburan lainnya, tetapi kuil dan gereja masih dilarang.
Awal bulan ini, Amerika Serikat (AS) mengonfirmasi kembali Arab Saudi di antara daftar negara yang masuk daftar hitam dalam hal kebebasan beragama.
Negara-negara yang masuk dalam daftar hitam itu dituduh terlibat atau menoleransi "pelanggaran sistematis, berkelanjutan, dan berat terhadap kebebasan beragama," berdasarkan Departemen Luar Negeri AS.
Bulan lalu, Pangeran MBS berjanji untuk menyerang ekstremisme dengan "tangan besi", setelah pemboman terhadap sekelompok diplomat Barat di pemakaman non-Muslim di kota Jeddah Laut Merah dan diklaim oleh kelompok Negara Islam ISIS.