TRIBUNNEWS.COM - Pengadilan Lebanon mencopot hakim yang memimpin penyelidikan ledakan di Beirut pada Agustus 2020.
Keputusan ini dinilai sebagai sebuah langkah yang kemungkinan besar akan menunda penyelidikan yang menghadapi tekanan politik yang keras.
Lebih dari enam bulan sejak ledakan non-nuklir terbesar dalam sejarah, warga Lebanon masih belum memiliki jawaban tentang mengapa atau berapa ton amonium nitrat meledak di jantung kota.
Mengutip Al Jazeera, ledakan itu menewaskan 200 orang, melukai ribuan orang, dan menghancurkan seluruh distrik.
Baca juga: Aktivis Anti-Hizbullah dari Lebanon Ditemukan Tewas di Dalam Mobilnya
Baca juga: Kaleidoskop Internasional Agustus 2020: Ledakan di Beirut, PM Jepang Shinzo Abe Mengundurkan Diri
Pada Desember tahun lalu, Hakim Fadi Sawan mendakwa tiga mantan menteri dan perdana menteri yang keluar karena lalai atas ledakan Agustus, yang memperparah kehancuran ekonomi Lebanon.
Namun para pejabat menghina Sawan ketika dia berusaha untuk menanyai sebelum memutuskan apakah mereka harus didakwa secara formal, menuduhnya melanggar kekuasaannya.
Dia juga menghadapi kritik dari Syiah Hizbullah dan mantan perdana menteri Sunni Saad Hariri.
Pengadilan kasasi memutuskan untuk mengeluarkan Sawan dari kasus tersebut pada Kamis setelah permintaan dari dua mantan menteri yang dia tuduh yakni, Ali Hassan Khalil dan Ghazi Zeaiter.
Berdasar salinan keputusan pengadilan, yang dikutip Reuters, disebutkan bahwa "kecurigaan yang sah" atas kenetralan Sawan karena rumahnya rusak dalam ledakan itu, yang meluluhlantahkan sebagian besar ibu kota.
"Begitu hakim mulai menyerang, mereka segera menyingkirkannya," kata William Noun, yang saudara laki-laki petugas pemadam kebakarannya tewas dalam ledakan itu.
"Ada kesedihan dan kemarahan dalam diri kami. Kami tahu ada tekanan politik… tapi kami tidak akan menyerah," tambahnya.
Baca juga: Muncul Temuan Baru Penyebab Ledakan di Beirut, Bukan Karena Amonium Nitrat Tapi Misil Militer
Penghinaan
Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) mengatakan, pencopotan hakim berdasarkan pengaduan dari politisi adalah 'penghinaan' bagi para korban.
"Kami kembali ke titik awal," kata peneliti HRW Aya Majzoub.
"Kami membutuhkan jawaban, dan Lebanon telah menunjukkan bahwa mereka tidak mampu memberikan jawaban," tuturnya.
Pengacara Youssef Lahoud, yang mewakili sekitar 1.400 korban, mengatakan kepada Reuters, Menteri Kehakiman sekarang harus mencalonkan hakim lain dan mendapatkan persetujuan dari dewan peradilan yang lebih tinggi.
Upaya Pembangunan Kembali yang Terhenti
Enam bulan pascaledakan besar yang meluluhlantakkan Beirut, bekas kerusakan masih terlihat di berbagai sudut.
Mengutip Al Jazeera, keadaan ekonomi Lebanon yang buruk telah melumpuhkan upaya pembangunan kembali.
Para korban dan penyintas ledakan Beirut mengatakan, pemerintah tak menawarkan bantuan rekonstruksi dan dinilai gagal menemukan siapa yang bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Satu di antara korban ledakan Beirut pun buka suara.
Baca juga: Kaleidoskop Internasional Agustus 2020: Ledakan di Beirut, PM Jepang Shinzo Abe Mengundurkan Diri
Baca juga: Kaleidoskop 2020 : Peristiwa di Timur Tengah, Tewasnya Qasem Soleimani hingga Ledakan Beirut
"Cara pemerintah memperlakukan (kami) ini menghina," kata Mireille Khoury, yang putranya Elias (15) tewas dalam ledakan tersebut.
Khoury termasuk di antara banyak korban di Ibu Kota Lebanon yang menyerukan penyelidikan internasional independen.
Mereka yakin pengadilan Lebanon akan gagal meminta pertanggungjawaban tokoh-tokoh berpengaruh untuk menyelidiki ledakan yang menewaskan sekira 200 orang dan melukai lebih dari 6.000 orang serta menghancurkan puluhan ribu rumah.
"Setelah enam bulan, penyelidikan di sini, di Lebanon, tidak mengasilkan apa-apa," katanya.
Baca juga: Kepanikan Terjadi Akibat Kebakaran di Beirut Lebanon, Penduduk Trauma, Penyebab Belum Diketahui
PM Lebanon Mengundurkan Diri
Hasaan Diab mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri enam hari setelah ledakan karena kemarahan publik meluap menjadi protes jalanan.
Tetapi dia tetap dalam kapasitas sebagai pengurus karena Saad Hariri yang ditunjuk Perdana Menteri sejauh ini gagal membentuk pemerintahan.
Wabah Covid-19 di negara itu telah memburuk kondisi.
Sementara ini, pemerintah mengalami kesulitan untuk menemukan keseimbangan antara membatasi penyebaran virus dan menjaga ekonomi yang rapuh tetap hidup.
Akhir bulan lalu, demonstrasi di Kota Tripoli utara menentang pembatasan virus corona dan kurangnya pemerintahan berubah menjadi kekerasan, menyebabkan satu pengunjuk rasa tewas.
Baca juga: Berkaca dari Kasus Ledakan di Beirut, Dankorbrimob Polri Siagakan Satuan KBR Gegana
Kesulitan Ekonomi dan Lambannya Pembangunan Kembali
Sementara itu, banyak bangunan terlihat seperti enam bulan lalu, ketika para penyintas dan mayat masih ditarik dari puing-puing.
Efek dari pembanguan yang lamban juga terlihat, karena hujan musim dingin telah sepenuhnya meruntuhkan beberapa bangunan yang secara struktural rusak akibat ledakan tersebut.
"Sebulan lalu, gedung di sebelah kami runtuh," kata Khalaf Abbas Faraj, seorang pengungsi Suriah yang tinggal bersama keluarganya sekitar 500 meter dari lokasi ledakan di lingkungan Karatina Beirut, berdekatan dengan pelabuhan.
Faraj mengatakan "hanya satu dinding" dari apartemen satu kamar yang dia bagi dengan istri dan empat dari lima anaknya tetap utuh setelah ledakan.
Semuanya menderita luka ringan, dan putri bungsunya, Aline yang berusia enam tahun, tetap ketakutan dengan suara keras.
"Putri saya selalu bertanya apakah itu akan terjadi lagi," katanya.
Di sisi lain pelabuhan, saat dia mengamati bangunan yang sekarang kosong di lingkungan Gemmayze tempat dia tinggal selama 50 tahun, Simone Achkar bersyukur, dia dan saudara perempuannya selamat dari ledakan hanya dengan luka ringan.
Salah satu tetangganya tewas dan lainnya lumpuh ketika bangunan di sebelahnya runtuh.
Ironisnya Achkar tertawa ketika ditanya apakah dia pernah menerima sesuatu dari pemerintah.
Dia berkata beruntung dan meskipun tidak mampu membangun kembali, tetap punya tempat tinggal di luar Beirut.
Mata uang Lebanon telah kehilangan sekitar 80 persen nilainya terhadap dolar AS pada tahun lalu.
Hal ini membuat impor bahan bangunan, mulai dari kaca jendela hingga aluminium hingga baja - sangat mahal dan memperlambat pembangunan kembali.
"Semua bahan dihargai dalam dolar, dan kami berada dalam situasi ekonomi yang sangat sulit, dan bahan tersebut sangat mahal, namun tetap harus membuat orang kembali dengan selamat ke rumah mereka," kata Mohamad Ghotmeh, Kepala Kontrak CTI, sebuah perusahaan yang mengerjakan tujuh proyek di zona rusak ledakan.
Ghotmeh mengatakan, jika bukan sumbangan LSM, sejauh ini tidak akan ada yang dibangun kembali, tetapi dana itu pun tidak cukup.
"Sampai saat ini, pemerintah belum mendanai rumah pribadi atau badan swasta untuk dibangun kembali," kata Ghotmeh.
"Bantuan hanya terkait dengan keadaan darurat dasar, makanan dan tempat tinggal," tambahnya.
Ghotmeh mencemooh pengumuman Menteri Keuangan Lebanon awal pekan ini bahwa lebih dari $ 5,5 juta bantuan rekonstruksi akan segera dicairkan.
"Para menteri melakukan banyak siaran pers, tapi tidak ada yang nyata," kata Ghotmeh.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)