TRIBUNNEWS.COM, YANGON — Massa pendukung kudeta militer Myanmar, mengamuk, menembakkan ketapel dan melempar batu, menyerang massa anti- kudeta pada Kamis (25/2/2021) waktu setempat.
Beberapa dari mereka bersenjatakan pisau dan pentungan.
Melansir Reuters, Jumat (26/2/2021), Myanmar telah mengalami kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah sipil Aung San Suu Kyi dan banyak tokoh sipil lainnya setelah militer mengklaim kecurangan dalam pemilu November 2020.
Aksi protes dan mogok kerja telah terjadi setiap hari selama sekitar tiga minggu, dan siswa telah berencana untuk juga turun ke jalan di pusat kota Yangon.
Namun sebelum banyak demonstran anti-kudeta berkumpul, sekitar 1.000 pendukung militer muncul untuk melakukan unjuk rasa di pusat kota.
Beberapa fotografer berita diancam, pekerja media dan saksi mata mengatakan, dan perkelahian segera meningkat menjadi kekerasan yang lebih serius di beberapa bagian kota.
Beberapa orang dipukuli oleh sekelompok pria, beberapa bersenjatakan pisau, yang lain menembakkan ketapel dan melemparkan batu, kata para saksi mata.
Setidaknya dua orang ditikam, berdasarkan rekaman video.
Dalam satu insiden, beberapa pria, satu memegang pisau besar, menyerang seorang pria di luar hotel di pusat kota.
Baca juga: Inggris Kembali Jatuhkan Sanksi pada Anggota Junta, Bank Dunia Hentikan Pendanaan Proyek di Myanmar
Petugas darurat membantu pria berdarah itu setelah penyerangnya berlari meninggalkannya. Hingga kini masih belum diketahui kondisi pria yang bersimbah darah itu.
"Peristiwa hari ini menunjukkan siapa yang melakukan teror. Mereka takut dengan aksi rakyat untuk demokrasi," kata aktivis Thin Zar Shun Lei Yi kepada Reuters.
"Kami akan tetap melanjutkan aksi protes damai kami terhadap kediktatoran ini."
Ketika senja tiba, puluhan polisi anti huru-hara menembakkan gas air mata ke kerumunan untuk membubarkan aksi demonstran di kantor administrasi untuk memprotes penunjukan pejabat setempat oleh junta, menurut seorang saksi dan video live streaming.
Aksi kekerasan itu akan memperparah kekhawatiran tentang sebuah negara yang sebagian besar lumpuh oleh aksi protes dan kampanye pembangkangan sipil terhadap militer.
Sebelumnya, polisi memblokir gerbang kampus universitas utama Yangon, menghentikan ratusan mahasiswa di dalam untuk tidak keluar melakukan demonstrasi.
Kepala militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan pihak berwenang menggunakan kekuatan minimal.
Namun demikian, tiga demonstran dan satu polisi telah tewas dalam kekerasan.(Reuters)