TRIBUNNEWS.COM - Presiden Filipina Rodrigo Duterte menginstruksikan militer dan polisi untuk membunuh dan menghabisi semua aktivis komunis di negera itu, Jumat (5/3/2021).
Dikatakan Duterte, militer dan polisi harus memastikan aktivis komunis yang mereka temui benar-benar terbunuh.
Meski begitu, Duterte tetap mengingatkan kepada pasukan yang membunuh agar jenazah aktivis komunis dikembalikan ke keluarga masing-masing.
"Saya telah memberitahu militer dan polisi bahwa jika mereka bertemu dengan pemberontak komunis, bunuh mereka," kata Duterte dikutip dari Aljazeera.
"Pastikan Anda benar-benar membunuh dan menghabisi mereka jika mereka masih hidup. Pastikan untuk mengembalikan jenazah mereka ke keluarga masing-masing," tambah Duterte.
Selanjutnya, Duterte meminta militer dan polisi melupakan hak asasi manusia (HAM) dalam bertindak menghabisi komunis.
Duterte juga menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki keraguan untuk melakukan hal yang memang seharusnya dia dilakukan.
Bahkan, presiden yang dilantik pada 2016 lalu ini menyatakan dirinya bersedia dipenjara atas instruksinya.
"Lupakan hak asasi manusia. Itu pesan saya. Saya bersedia masuk penjara, itu tidak masalah. Saya tidak ragu melakukan hal yang harus saya lakukan," kata Duterte.
Baca juga: Filipina Terima Sumbangan Vaksin Covid-19 Sinovac, Duterte Pilih Merek Lain
Baca juga: Usung Gaya Hypebeast yang Unik, Sepatu Brand Lokal Indonesia akan Dipasarkan di Filipina
Sementara itu, setidaknya sembilan aktivis telah tewas selama dua hari setelah Duterte memberikan instruksi.
Polisi melaporkan, ada enam orang yang ditangkap selama penggerebekan di tiga provinsi di sekitar Metro Manila.
Sementara enam orang lainnya melarikan diri dari penggerebekan pada Minggu (7/3/2021) itu.
Polisi juga mengatakan mereka memiliki surat perintah penangkapan terhadap 18 orang komunis.
Dari 18 orang tersebut, beberapa di antaranya menolak ditangkap yang berakibat pada kematian mereka.
Adapun menurut laporan Kelompok Karapatan and the Kabataan (Youth) Party, aktivis yang telah tewas meliputi, Emmanuel Manny Asuncion, yaitu seorang pemimpin buruh di Provinsi Cavite.
Kemudian, dua orang penyelenggara perburuhan, yaitu sepasang suami istri yang tewas di Provinsi Batangas.
Chai dan Ariel Evangelista bersama dengan putra mereka yang berusia 10 tahun, hilang hanya beberapa jam sebelum kematian mereka.
Sedangkan keberadaan putra mereka masih belum diketahui.
Di Provinsi Rizal, Karapatan juga mengonfirmasi tewasnya dua aktivis menyusul insiden penembakan.
Lebih lanjut, Human Rights Watch (HRW) menyuarakan keprihatinan mengenai penggerebekan terhadap aktivis komunis.
Menurut HRW, operasi tersebut tampaknya merupakan rencana terkoordinasi oleh pihak berwenang.
"Insiden ini jelas merupakan bagian dari kampanye kontra pemberontakan pemerintah yang semakin brutal yang bertujuan untuk menghilangkan," kata Phil Robertson, Wakil Direktur HRW Asia.
Di samping itu, ancaman Dutrete terhadap komunis telah menimbulkan ketakutan bagi masyarakat.
Pasalnya, hal itu berpotensi menyebabkan pertumpahan darah yang mirip dengan perang melawan narkoba yang menewaskan ribuan orang, termasuk anak-anak.
Kelompok pembela hak asasi manusia (HAM) setempat memperingatkan bahwa ancaman tersebut tidak lagi membedakan antara pemberontak bersenjata, pembela hak asasi, dan kritik terhadap pemerintahan Duterte.
Sebagai informasi, aktivis komunis telah berperang melawan pemerintah sejak 1968, yang merupakan salah satu pemberontakan Maois terlama di dunia.
Dalam hal ini Maois adalah varian dari pemikiran Marxisme-Leninisme yang berasal dari ajaran-ajaran pemimpin komunis Tiongkok Mao Zedong.
Menurut militer, pemberontakan tersebut telah menewaskan lebih dari 30.000 orang.
Beberapa presiden yang pernah memerintah Filipina telah gagal mencapai kesepakatan dengan aktivis komunis.
Adapun saat Duterte mencalonkan diri sebagai presiden, dia berjanji untuk mengakhiri pemberontakan melalui pembicaraan damai dengan Jose Maria Sison, pemimpin Partai Komunis Filipina yang sekarang mengasingkan diri di Belanda.
Namun, menyusul bentrokan sengit antara pasukan pemerintah dan komunis pada tahun 2017, Duterte membatalkan proses perdamaian dan kemudian menandatangani proklamasi yang melabeli aktivis tersebut sebagai teroris.
Dia juga menginstruksikan pasukan pemerintah untuk menembak aktivis perempuan di alat kelamin sebagai hukuman.
Sedangkan, Duterte menawarkan hadiah kepada pembunuh untuk setiap aktivis komunis yang dihabisi.
Pada 2018, satuan tugas khusus dibentuk oleh presiden untuk menargetkan para pemberontak dan pendukungnya.
Kritikus dan aktivis hak asasi manusia mengatakan tim khusus itu juga dikerahkan untuk melawan politisi berhaluan kiri arus utama dan kritikus Duterte lainnya.
Tanpa pandang bulu, beberapa pejabat administrasi Duterte juga telah dituduh komunis.
Siapa pun yang mengkritik presiden, termasuk anggota akademisi, jurnalis dan aktivis akan dianggap sebagai komunis.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah aktivis, pengacara, dan dokter ditembak mati setelah mereka ditandai di depan umum dan di media sosial sebagai simpatisan komunis dan pemberontak komunis yang aktif.
Baca juga: Dianggap Sebagai Perusahaan Militer Komunis, Xiaomi Masuk Daftar Hitam AS
Baca juga: Diduga Disiksa, Pejabat dari Partai ‘Aung Suu Kyi’ Tewas dalam Tahanan Polisi di Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)