News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Krisis Myanmar

Lima Demonstran Tewas di Kota Myaing Myanmar

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang pengunjuk rasa (tengah) melepaskan alat pemadam kebakaran setelah polisi menembakkan gas air mata selama demonstrasi menentang kudeta militer di Mandalay pada 7 Maret 2021.

TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Jumlah korban tewas terus bertambah buntut tindakan brutal aparat keamanan terhadap demonstran anti kudeta militer di Myanmar.

Setidaknya lima demonstran tewas di kota Myaing, Myanmar tengah pada Kamis (11/3/2021).

Hal itu disampaikan saksi dan media setempat, seperti dilansir dari Reuters, Jumat (12/3/2021).

Saksi yang berada di rumah sakit Myaing mengatakan dokter telah menyatakan lima orang meninggal.

“Satu orang tidak sadarkan diri dan tidak jelas apakah dia masih hidup”, kata saksi.

Media domestik mengatakan enam orang tewas.

Sebelumnya diberitakan satu demonstran tewas pada Kamis (11/3/2021) di distrik Dagon, Yangon.

Demikian  media setempat melaporkan seperti dilansir Tribunnews.com dari Reuters, Jumat (12/3/2021).

Sejumlah orang menyatakan aksi protes anti-junta militer terhadap kudeta 1 Februari berlangsung di lokasi tersebut.

Foto-foto yang diposting di Facebook menunjukkan seorang pria tergeletak di jalan dengan darah mengalir keluar dari luka-luka di kepala. 

Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International menyebut militer Myanmar menggunakan senjata perang dan kekuatan mematikan untuk melumpuhkan demonstran anti kudeta.

Hal itu disampaikan Amnesty International pada Kamis (11/3/2021).

Amnesty mengatakan telah memverifikasi lebih dari 50 video dari tindakan brutal yang dilakukan militer Myanmar terhadap demonstran.

Berdasarkan laporan PBB,  pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 60 demonstran. Dikatakan banyak pembunuhan yang didokumentasikan berupa eksekusi di luar hukum.

Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta untuk berkomentar.

Junta militer yang berkuasa pada 1 Februari, menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan memicu aksi protes harian di seluruh Myanmar yang kadang-kadang menarik ratusan ribu orang ke jalanan.

Amnesty menuduh militer menggunakan senjata yang cocok di medan perang untuk membunuh demonstran.

"Ini bukan tindakan kewalahan, perwira individu membuat keputusan yang buruk," kata Joanne Mariner, Direktur Respons Krisis di Amnesty International.

"Ini adalah komandan yang tidak bertobat yang sudah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengerahkan pasukan mereka dan metode pembunuhan di tempat terbuka."

Amnesty mengatakan senjata yang digunakan termasuk senapan sniper dan senapan mesin ringan, serta senapan serbu dan senapan sub-mesin.

Amnesty menyerukan untuk berhenti melakukan pembunuhan dan  bebaskan tahanan. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan hampir 2.000 orang telah ditahan sejak kudeta.

 Dalam membenarkan kudeta, junta militer mengutip dugaan kecurangan dalam pemilu November yang telah dimenangkan partai Suu Kyi. Tuduhannya telah dibantah  komisi pemilihan umum.

Pengakuan Polisi Myanmar Yang Lari Ke India: Perintah Junta 'Tembak Sampai Mereka Mati'

Sejumlah personil kepolisian Myanmar mengaku diperintah untuk menembak mati demonstran anti kudeta militer. Namun mereka menolak untuk melakukannya dan memutuskan lari ke India.

Tha Peng adalah satu diantara personil kepolsian yang diperintahkan untuk menembaki demonstran dengan senapan mesin untuk membubarkan aksi demonstran di kota Khampat Myanmar pada 27 Februari. Tetapi kopral polisi itu menolak perintah itu.

"Keesokan harinya, seorang petugas menelepon untuk bertanya apakah saya akan menembak," katanya.

Namun pria berusia 27 tahun itu menolak lagi, dan kemudian mengundurkan diri dari kesatuan.

Pada 1 Maret, dia mengatakan dirinya meninggalkan rumah dan keluarganya di belakang di Khampat.

Ia pun melakukan perjalanan selama tiga hari, lebih banyak pada malam hari untuk menghindari deteksi, sebelum menyeberang ke negara bagian Mizoram timur laut, di India.

"Saya tidak punya pilihan," kata Tha Peng kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada hari Selasa (9/3/2021), berbicara melalui penerjemah.

Dia hanya memberikan sebagian dari namanya untuk melindungi identitasnya. Reuters melihat kartu polisi dan KTP miliknya yang mengkonfirmasi nama itu.

Tha Peng mengatakan dia dan enam rekannya semua tidak mematuhi perintah 27 Februari dari seorang perwira tinggi, yang tidak ia sebutkan identitasnya.

Deskripsi peristiwa mirip dengan yang diberikan kepada polisi di Mizoram pada 1 Maret oleh kopral polisi Myanmar lainnya dan tiga polisi yang menyeberang ke India, menurut dokumen rahasia polisi yang dilihat oleh Reuters.

 Dokumen itu ditulis oleh pejabat polisi Mizoram dan memberikan rincian biografi dari empat individu dan akun mereka tentang mengapa mereka melarikan diri. Itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.

"Ketika gerakan pembangkangan Sipil mendapatkan momentum dan aksi protes yang diadakan oleh demonstran anti-kudeta di tempat yang berbeda kami diperintahkan untuk menembaki para demonstran," kata mereka dalam pernyataan bersama kepada polisi Mizoram.

"Dalam skenario seperti itu, kita tidak memiliki keberanian untuk menembaki masyarakat kita sendiri yang merupakan demonstran damai," kata mereka.

Junta militer Myanmar, yang menggelar kudeta pada 1 Februari dan menggulingkan pemerintah sipil negara itu, tidak menanggapi permintaan Reuters untuk berkomentar.

Junta mengatakan pihaknya bertindak dengan sangat menahan diri dalam menangani aksi demonstrasi.

Tha Peng adalah salah satu kasus pertama yang dilaporkan oleh media polisi yang melarikan diri dari Myanmar setelah tidak mematuhi perintah dari pasukan keamanan junta militer.

Aksi protes harian terhadap pemerintahan militer sedang digelar  di seluruh negeri dan pasukan keamanan telah bertindak brutal.

 Lebih dari 60 demonstran telah tewas dan lebih dari 1.800 ditahan, kata Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, satu kelompok advokasi..

Di antara para tahanan ada nama penerima Nobel Aung San Suu Kyi, yang memimpin pemerintahan sipil. (Reuters/AFP/AP/Channel New Asia)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini