TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Aparat keamanan Myanmar melepaskan tembakan di upacara pemakaman pada Minggu (28/2021) waktu setempat.
Seperti dilansir Reuters, Senin (29/3/2021), warga sipil berkumpul untuk meratapi duka atas 114 orang yang tewas pada hari sebelumnya dalam tindakan keras terburuk pada gelombang aksi protes sejak kudeta militer bulan lalu.
Para pelayat melarikan diri dari penembakan di sebuah layanan untuk siswa berusia 20 tahun Thae Maung Maung di Bago dekat ibukota komersial Yangon.
Hingga berita ini dilaporkan tidak ada laporan langsung tentang korban jiwa, tiga orang di kota itu mengatakan kepada Reuters.
Baca juga: Pangkalan Militernya Direbut, Junta Myanmar Lancarkan Serangan Udara di Wilayah Pemberontak Karen
Baca juga: Junta Myanmar Sebut akan Lindungi Rakyat, tapi 114 Orang Dibunuh di Hari Angkatan Bersenjata
"Sementara kami menyanyikan lagu revolusi untuknya, pasukan keamanan baru saja tiba dan menembaki kami," kata seorang wanita bernama Aye yang berada di layanan tersebut.
"Orang-orang, termasuk kami, melarikan diri saat mereka menembak."
Sementara itu 12 orang lainnya tercatat tewas dalam insiden di tempat lain di Myanmarm, seperti dilaporkan kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik pada hari Minggu.
Ini semakin menambah jumlah korban jiwa warga sipil yang terbunuh sejak kudeta 1 Februari menjadi 459 orang.
Ribuan penduduk desa di daerah perbatasan juga melarikan diri ke Thailand setelah serangan udara militer terhadap satu dari beberapa milisi etnis yang telah meningkatkan serangan sejak kudeta, kata para saksi dan media setempat.
Baca juga: Korban Tewas dalam Tindakan Keras Pascakudeta Myanmar Lebih dari 300 Orang
Tidak ada laporan protes skala besar di Yangon atau Mandalay, yang banyak jatuh korban jiwa pada hari Sabtu, di Hari Angkatan Bersenjata Myanmar.
Tetapi orang-orang di Mandalay mengepung kantor polisi pada larut malam, menuduh pasukan keamanan melakukan pembakaran setelah lima rumah terbakar, kata warga.
Reuters tidak dapat menghubungi polisi di sana untuk berkomentar.
Setidaknya enam anak berusia antara 10 -16 tahun termasuk di antara mereka yang terbunuh pada hari Sabtu, menurut laporan berita dan saksi mata.
Demonstran menyebut para korban sebagai "Bintang Jatuh".
Pertumpahan darah menarik kecaman negara-negara Barat.
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar mengatakan tentara sedang melakukan "pembunuhan massal" dan menyerukan kepada dunia untuk mengisolasi junta dan menghentikan aksesnya ke senjata.
Kritik dan sanksi asing yang dijatuhkan oleh beberapa negara Barat sejauh ini gagal menggoyang para pemimpin militer, karena hampir setiap hari aksi protes di seluruh negeri sejak junta mengambil kekuasaan dan menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
"Kami salut kepada pahlawan kami yang mengorbankan nyawa selama revolusi ini dan kami harus memenangkan Revolusi ini," kata salah satu kelompok protes utama, General Strike Committee of Nationalities (GSCN), yang diposting di Facebook.
Baca juga: Serangan Bom Molotov di Markas Partai Aung San Suu Kyi di Myanmar
Pertempuran berat juga meletus antara militer dan sejumlah kelompok bersenjata etnis yang mengendalikan sejumlah negara bagian.
Sekitar 3.000 orang mengungsi ke negara tetangga Thailand setelah jet militer mengebom daerah yang dikendalikan oleh milisi Karen National Union (KNU) di dekat perbatasan, kata sebuah kelompok aktivis dan media lokal.
Dalam serangan udara oleh militer pada hari Sabtu, setidaknya tiga warga sipil tewas di sebuah desa yang dikendalikan oleh KNU, kata sebuah kelompok masyarakat sipil.
Milisi sebelumnya mengatakan telah menyerbu pangkalan militer di dekat perbatasan, menewaskan 10 orang.
Pertempuran juga meletus pada hari Minggu antara kelompok bersenjata lainnya, Tentara Kemerdekaan Kachin, dan junta militer di daerah penambangan giok Hpakant di utara.
Pasukan Kachin menyerang kantor polisi dan militer merespons serangan udara, lapor media Kachinwaves.
Tidak ada laporan korban jiwa.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan untuk berkomentar tentang pembunuhan atau pertempuran.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta, mengatakan selama parade untuk menandai Hari Angkatan Bersenjata bahwa militer akan melindungi rakyat dan mengupayakan demokrasi.
Negara-negara barat termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Uni Eropa kembali mengutuk tindakan kekerasan militer terhadap warga sipil.
"Ini mengerikan, itu benar-benar keterlaluan," kata Presiden AS Joe Biden kepada wartawan di Delaware.
"Berdasarkan laporan saya telah mendapat banyak orang telah dibunuh benar-benar tidak perlu."
Diplomat top Uni Eropa, Josep Borrell, menyerukan kepada para jenderal Myanmar untuk mundur dari apa yang disebutnya sebagai "jalan kekerasan yang tidak masuk akal" terhadap rakyat mereka sendiri.
"Kami akan terus menggunakan mekanisme Uni Eropa, termasuk sanksi, untuk menargetkan pelaku kekerasan ini, dan mereka yang bertanggung jawab," kata Borrell dalam sebuah pernyataan.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan di Twitter: "Kami tidak akan mentolerir tindakan brutal militer terhadap rakyat Myanmar".
Pelapor Khusus PBB Tom Andrews mengatakan junta harus diputus dari pendanaan, seperti pendapatan minyak dan gas, dan dari akses ke senjata.(Reuters)