News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Krisis Myanmar

Korban Kekerasan Rezim Militer Myanmar Bertambah, Total Lebih dari 500 Orang

Penulis: Rica Agustina
Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orang-orang berduka atas tubuh seorang wanita, yang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan Myanmar, sebelum dikremasi di Yangon pada hari Senin, 29 Maret 2021.

TRIBUNNEWS.COM - Korban kekerasan rezim militer atau junta Myanmar terhadap warga sipil atau demonstran antikudeta terus bertambah.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) telah mengonfirmasi total 510 kematian warga sipil sejak penggulingan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.

Akan tetapi kemungkinan besar jumlah kematian sebenarnya jauh lebih tinggi dari angka tersebut.

Unjuk rasa harian di seluruh Myanmar yang dilakukan demonstran tak bersenjata telah disambut dengan gas air mata, peluru karet hingga peluru tajam oleh pasukan keamanan.

Sehingga menyebabkan banyaknya demonstran terluka bahkan tewas.

Baca juga: Pengunjuk Rasa Anti-Kudeta Myanmar & Pelayat Turun ke Jalan di Tengah Laporan Pembunuhan di Yangon

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan, kekerasan terhadap warga sipil yang cukup tinggi benar-benar tidak dapat diterima.

Untuk itu, pihaknya mendesak junta segera melakukan transisi demokrasi yang serius.

PBB saat ini membutuhkan lebih banyak persatuan dan komitmen dari komunitas internasional untuk turut memberi tekanan pada junta.

"Benar-benar tidak dapat diterima melihat kekerasan terhadap orang-orang pada tingkat yang begitu tinggi, begitu banyak orang terbunuh," kata Guterres dikutip dari Channel News Asia.

"Kami membutuhkan lebih banyak persatuan dan lebih banyak komitmen dari komunitas internasional untuk memberikan tekanan guna memastikan bahwa situasinya terbalik," sambungnya.

Seorang pengunjuk rasa antikudeta melemparkan bom asap terhadap tindakan keras polisi di kota Thaketa Yangon, Myanmar, Sabtu, 27 Maret 2021. (Foto AP, Channel News Asia)

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden melalui Perwakilan Dagang Katherine Tai mengatakan, pihaknya mengutuk keras tindak kekerasan pasukan keamanan Myanmar.

Katherine Tai kemudian mengumumkan bahwa Perjanjian Kerangka Perdagangan dan Investasi (TIFA) 2013 antara Amerika Serikat dengan Myanmar per Senin (29/3/2021) akan ditangguhkan.

Adapun perjanjian ekonomi itu akan berlaku kembali setelah junta memulihkan demokrasi di Myanmar.

"Amerika Serikat mengutuk keras kekerasan brutal pasukan keamanan Burma terhadap warga sipil," kata Katherine Tai, menggunakan nama lama Myanmar, Burma.

Pernyataan tersebut secara efektif menghapus Myanmar dari Sistem Preferensi Umum, di mana Amerika Serikat memberikan akses bebas bea ke beberapa impor dari negara berkembang jika mereka memenuhi standar utama.

Lebih lanjut, tak hanya Amerika Serikat, Prancis juga mengutuk kekerasan itu sebagai tindakan membabibuta dan mematikan.

Baca juga: AS akan Menyetop Perdagangan Diplomatik dengan Myanmar sampai Kudeta Dicabut

Negara tetangga Myanmar, China ikut menambahkan suaranya ke paduan suara keprihatinan internasional, menyerukan pengekangan dari semua sisi.

Kemudian Moskow mengatakan pihaknya sangat prihatin dengan meningkatnya korban sipil, meskipun mengakui pihaknya membangun hubungan dengan otoritas militer.

Sejalan dengan Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi sebagai tanggapan atas kudeta dan tindak kekerasan terhadap warga sipil.

Namun demikian, tekanan diplomatik belum dapat membujuk para jenderal untuk memulihkan demokrasi.

Ribuan Orang Melarikan Diri ke Thailand

Diberitakan sebelumnya, pasukan keamanan telah melancarkan serangan udara di sepanjang perbatasan barat laut Myanmar.

Menurut Free Burma Rangers, badan bantuan kemanusiaan yang memberikan bantuan medis dan lainnya kepada penduudk desa, pesawat militer Myanmar melakukan tiga serangan pada Minggu malam hingga Senin (28-29/3/2021).

Free Burma Rangers menerangkan, serangan itu tampaknya melukai satu orang tetapi tidak menimbulkan korban jiwa.

Melansir AP News, sekira 3.000 orang diperkirakan menyeberangi sungai yang membatasi Myanmar dengan Thailand.

Selebaran dari Free Burma Rangers yang dirilis ke AFP pada 29 Maret 2021 ini menunjukkan penduduk yang mengungsi di hutan di negara bagian Karen di Myanmar timur pada 28 Maret 2021, setelah daerah mereka menjadi sasaran serangan udara ketika Serikat Nasional Karen (KNU), Kelompok bersenjata etnis Karen merebut pangkalan militer.

Video yang direkam hari itu menunjukkan sekelompok penduduk desa, termasuk banyak anak kecil, beristirahat di hutan terbuka setelah meninggalkan rumah mereka.

Mereka membawa harta mereka dalam bundel dan keranjang.

Berdasarkan penuturan pekerja untuk dua badan bantuan kemanusiaan, dalam serangan Minggu sebelumnya, pesawat militer Myanmar menjatuhkan bom pada posisi gerilyawan Karen di sebuah daerah di Sungai Salween di distrik Mutraw negara bagian Karen.

"Dua orang tewas dan banyak lagi yang terluka dalam serangan itu," kata seorang anggota Free Burma Rangers.

Pada Sabtu malam, dua pesawat militer Myanmar membom dua kali desa Deh Bu Noh di distrik Mutraw, menewaskan sedikitnya dua penduduk desa.

Serangan tersebut mungkin merupakan pembalasan bagi Tentara Pembebasan Nasional Karen, yang berjuang untuk otonomi yang lebih besar bagi rakyat Karen, menyerang dan merebut pos militer pemerintah pada Sabtu pagi.

Foto yang diambil dan diterima dari sumber anonim melalui Facebook pada 29 Maret 2021 ini menunjukkan pengunjuk rasa yang mengambil bagian dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Monywa, wilayah Sagaing. (Handout / FACEBOOK / AFP)

Menurut Thoolei News, sebuah situs online yang memuat informasi resmi dari kelompok Persatuan Nasional Karen (KNU), kelompok etnis bersenjata, delapan tentara pemerintah termasuk seorang letnan dua ditangkap dalam serangan itu dan 10 orang tewas, termasuk seorang letnan kolonel yang merupakan wakil komandan batalyon.

Laporan itu mengatakan satu gerilyawan Karen telah tewas.

Ketegangan di perbatasan terjadi ketika para pemimpin perlawanan terhadap kudeta yang menggulingkan pemerintah terpilih Myanmar berusaha agar Karen dan kelompok etnis lainnya bersatu dan bergabung dengan mereka sebagai sekutu, yang akan menambah elemen bersenjata dalam perjuangan mereka.

(Tribunnews.com/Rica Agustina/Andari Wulan Nugrahani)

Berita lain terkait Myanmar

Berita lain terkait Kudeta Myanmar

Berita lain terkait Krisis Myanmar

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini