TRIBUNNEWS.COM - Demonstran antikudeta pemerintah militer atau junta Myanmar menggunakan taktik baru untuk melawan rezim yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing.
Pada Selasa (30/3/2021), demonstran meminta penduduk untuk menumpuk sampah di persimpangan jalan utama kota.
Dikutip dari Channel News Asia, taktik baru yang disebut 'serangan sampah' itu telah melumpuhkan sebagian besar ekonomi di Myanmar.
Sebuah gambar yang diunggah di media sosial menununjukkan tumpukan sampah di salah satu sudut Kota Yangon.
"Aksi serangan sampah ini adalah aksi menentang junta. Semua orang bisa bergabung," tulis sebuah poster di media sosial.
Adapun serangan sampah yang dilakukan demonstran terjadi setelah adanya seruan dari pasukan keamanan yang mendesak warga untuk membuang sampah dengan benar.
Serangan sampah juga dilakukan menyusul bertambahnya korban tewas akibat tindak kekerasan pasukan keamanan.
Diketahui, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan telah mengonfirmasi total 510 kematian warga sipil sejak penggulingan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.
Bahkan kemungkinan besar jumlah kematian sebenarnya jauh lebih tinggi dari angka tersebut.
Diduga Gunakan Peluncur Granat
Pasukan keamanan menembakkan senjata kaliber yang lebih berat dari biasanya di Kota Yangon untuk membubarkan demonstran yang berjongkok di belakang barikade kantong pasir.
Tidak begitu jelas senjata apa yang digunakan, tetapi saksi yakin senjata itu sejenis peluncur granat.
Namun demikian, televisi pemerintah mengklaim pasukan keamanan hanya menggunakan senjata anti huru hara.
Sementara itu, pada Selasa (30/3/2021), seorang penduduk di South Dagon mengatakan bahwa pasukan keamanan telah menindak daerah itu semalaman.
"Terjadi penembakan sepanjang malam," kata warga yang enggan disebutkan namanya itu.
Kemudian, seorang warga lainnya mengatakan telah menemukan mayat yang terbakar parah di jalan pada pagi hari.
Tidak diketahui apa yang terjadi pada orang tersebut karena militer langsung membawa mayatnya.
Baca juga: Korban Kekerasan Rezim Militer Myanmar Bertambah, Total Lebih dari 500 Orang
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan, kekerasan terhadap warga sipil Myanmar yang cukup tinggi benar-benar tidak dapat diterima.
Untuk itu, pihaknya mendesak junta segera melakukan transisi demokrasi yang serius.
PBB saat ini membutuhkan lebih banyak persatuan dan komitmen dari komunitas internasional untuk turut memberi tekanan pada junta.
"Benar-benar tidak dapat diterima melihat kekerasan terhadap orang-orang pada tingkat yang begitu tinggi, begitu banyak orang terbunuh," kata Guterres.
"Kami membutuhkan lebih banyak persatuan dan lebih banyak komitmen dari komunitas internasional untuk memberikan tekanan guna memastikan bahwa situasinya terbalik," sambungnya.
Selanjutnya, Presiden Amerika Serikat Joe Biden melalui Perwakilan Dagang Katherine Tai mengatakan, pihaknya mengutuk keras tindak kekerasan pasukan keamanan Myanmar.
Katherine Tai kemudian mengumumkan bahwa Perjanjian Kerangka Perdagangan dan Investasi (TIFA) 2013 antara Amerika Serikat dengan Myanmar per Senin (29/3/2021) akan ditangguhkan.
Baca juga: Pengunjuk Rasa Anti-Kudeta Myanmar & Pelayat Turun ke Jalan di Tengah Laporan Pembunuhan di Yangon
Adapun perjanjian ekonomi itu akan berlaku kembali setelah junta memulihkan demokrasi di Myanmar.
"Amerika Serikat mengutuk keras kekerasan brutal pasukan keamanan Burma terhadap warga sipil," kata Katherine Tai, menggunakan nama lama Myanmar, Burma.
Pernyataan tersebut secara efektif menghapus Myanmar dari Sistem Preferensi Umum, di mana Amerika Serikat memberikan akses bebas bea ke beberapa impor dari negara berkembang jika mereka memenuhi standar utama.
Tak hanya Amerika Serikat, Prancis juga mengutuk kekerasan itu sebagai tindakan membabibuta dan mematikan.
Negara tetangga Myanmar, China ikut menambahkan suaranya ke paduan suara keprihatinan internasional, menyerukan pengekangan dari semua sisi.
Kemudian Moskow mengatakan pihaknya sangat prihatin dengan meningkatnya korban sipil, meskipun mengakui pihaknya membangun hubungan dengan otoritas militer.
Sejalan dengan Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi sebagai tanggapan atas kudeta dan tindak kekerasan terhadap warga sipil.
Namun demikian, tekanan diplomatik belum dapat membujuk para jenderal untuk memulihkan demokrasi.
Serangan Diam
Diberitakan sebelumnya, demonstran sempat menggunakan taktik 'serangan diam' atau tidak menggelar aksi protes pada Rabu (24/3/2021).
Akibat pemogokan tersebut, pusat Kota Yangon dan Kota Monywa tampak sepi dari aktivitas demonstran maupun warga sipil.
Dikutip dari Channel News Asia, serangan diam dilakukan usai kematian anak perempuan berusia 7 tahun yang tertembak oleh pasukan keamanan, Selasa (23/3/2021)
Bocah bernama Khin Myo Chit itu tertembak saat sedang duduk di pangkuan sang ayah, hingga kemudian pasukan keamanan datang dan mendobrak rumah mereka.
Pasukan kemananan menembak ayah Khin Myo Chit lalu memukul dan membunuh bocah malang ini dengan timah panas.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)
Berita terkait Myanmar lainnya