TRIBUNNEWS.COM - Penindasan pemerintah militer atau junta Myanmar terhadap demonstran antikudeta telah menewaskan 543 orang, Jumat (2/4/2021).
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), 44 orang di antara korban tewas tersebut adalah anak-anak.
Dikutip dari Channel News Asia, aksi kekerasan dari pasukan keamanan telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir.
Organisasi Save the Children mengatakan, jumlah kematian anak-anak meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 12 hari.
Save the Children mengaku terkejut dengan aksi pasukan keamanan yang menyerang anak-anak.
Sebab sebelumnya pihaknya sudah berulang kali menyerukan untuk melindungi anak-anak dari bahaya serangan yang fatal.
"Kami terkejut bahwa anak-anak terus menjadi sasaran serangan fatal ini, meskipun ada seruan berulang kali untuk melindungi anak-anak dari bahaya," kata organisasi amal itu dalam sebuah pernyataan.
Baca juga: Thailand Siapkan Opsi Evakuasi Warganya Yang Terdampar di Myanmar
Save the Children menambahkan, menurut laporan yang mereka terima, anak-anak dibunuh di rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman.
"Sangat mengerikan bahwa beberapa dari anak-anak ini dilaporkan dibunuh di rumah, di mana mereka seharusnya aman dari bahaya," terang Save the Children.
Tak hanya sampai disitu, pasukan keamanan juga telah melakukan banyak penggerebekan pada malam hari.
Mereka melakukan banyak penangkapan di rumah orang-orang yang dicurigai mendukung demonstrasi.
Ratusan orang yang mendukung gerakan antikudeta yang bertujuan menghentikan junta menjalankan negara itu kini tidak diketahui keberadaanya.
Saat dimintai konfirmasi oleh Human Rights Watch (HRW) mengenai hal tersebut, junta tidak memberikan keterangan apa pun.
Junta menolak untuk mengonfirmasi lokasi mereka, serta tak mengizinkan akses ke pengacara mereka.
Direktur HRW Asia Brad Adams mengatakan, penangkapan sewenang-wenang dan penghilangan secara paksa tampaknya adalah sebuah taktik junta.
Junta merancang taktik tersebut untuk menimbulkan ketakutan di hati para demonstran yang menentang penggulingan Aung San Suu Kyi oleh mereka.
"Penggunaan penangkapan sewenang-wenang dan penghilangan paksa oleh junta militer secara luas tampaknya dirancang untuk menimbulkan ketakutan di hati para pengunjuk rasa antikudeta," kata Brad Adams.
Lebih lanjut, selain melakukan pembunuhan dan penghilangan, pasukan keamanan juga telah menahan sekira 2.700 orang.
Di samping itu, junta telah membatasi komunikasi warga sipil untuk menghentikan penyebaran berita.
Pada Kamis (1/4/2021), junta memerintahkan perusahaan penyedia layanan untuk menutup total akses internet.
"Sebuah arahan dari Kementerian Transportasi dan Komunikasi pada hari Kamis menginstruksikan bahwa semua layanan data broadband nirkabel untuk sementara ditangguhkan hingga pemberitahuan lebih lanjut," tulis penyedia layanan Ooredoo dalam sebuah pernyataan.
Namun demikian, sambungan internet darurat masih berfungsi meski dengan kecepatan yang berkurang secara drastis.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Umumkan Gencatan Senjata tapi Tidak untuk Demonstran Anti Kudeta
Berita lain terkait Krisis Myanmar
Berita lain terkait Kudeta Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)