TRIBUNNEWS.COM, ADDIS ABABA – Konflik di perbatasan antara wilayah Afar dan Somalia di Ethiopia telah menewaskan sedikitnya 100 orang.
Kabar ini disampaikan seorang pejabat regional Ethiopia dikutip kantor berita AFP, Reuters dan Aljazeera, Rabu (7/4/2021). Ini merupakan kekerasan terbaru menjelang pemilihan nasional pada Juni nanti.
Sekitar 100 warga sipil, banyak dari mereka penggembala, tewas sejak bentrokan meletus pada Jumat dan berlanjut hingga Selasa (6/4/2021).
Demikian dikemukakan Ahmed Humed, wakil komisaris polisi untuk wilayah Afar,lewat telepon ke wartawan Reuters. Dia menyalahkan kekerasan itu pada serangan pasukan regional Somalia.
Pertumpahan darah di wilayah yang diklaim Somalia dan Afar menyoroti krisis keamanan yang dihadapi Perdana Menteri Abiy Ahmed, yang melampaui konflik yang sedang berlangsung jauh di utara di Tigray.
Baca juga: Saksi Mata Ungkap Pria Bersenjata Bunuh 30 Orang dalam Serangan di Ethiopia Barat
Baca juga: PM Ethiopia Klaim Pasukan Pemerintah Telah Kendalikan Ibu Kota Kekuasaan Tigray
Ali Bedel, juru bicara wilayah Somalia, mengatakan 25 orang telah tewas pada Jumat dan sejumlah warga sipil yang tidak diketahui tewas dalam serangan berikutnya oleh pasukan yang sama Selasa.
Reuters tidak dapat memverifikasi secara independen apakah 25 kematian yang diklaim oleh pejabat Somalia itu sebagai tambahan dari 100 kematian atau termasuk dalam angka itu.
Sementara itu, Ahmed Kaloyte dari wilayah Afar, mengatakan kepada kantor berita AFP, polisi dan milisi khusus Somalia menggerebek daerah yang dikenal sebagai Haruka.
“Pasukan khusus wilayah Somalia… menyerang daerah Haruk dan Gewane menggunakan senjata berat termasuk senapan mesin dan granat berpeluncur roket. Anak-anak dan wanita dibunuh saat mereka sedang tidur,” kata Ahmed.
Mereka menembaki penduduk setempat secara tidak pandang bulu dan menewaskan lebih dari 30 penggembala sipil Afar, dan melukai sedikitnya 50 lainnya.
“Masyarakat setempat kemudian memukul balik para penyerang dan menangkap beberapa dari mereka dengan tangan kosong, memulihkan ketertiban sementara.
Kedua belah pihak menyangkal telah memulai serangan dan menyalahkan yang lain atas kekerasan tersebut.
Kekerasan Pra-pemilihan Umum
Bentrokan di sepanjang perbatasan mendahului konflik enam bulan di utara yang membuat pemerintah federal melawan bekas partai yang berkuasa di wilayah Tigray.
Namun kekerasan telah meningkat tepat ketika pemerintah Perdana Menteri Abiy mencoba untuk menegaskan kendali atas Tigray.
Perkembangan ini mencerminkan beratnya perjuangan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2019 menjaga negara tetap bersama menjelang pemilihan umum pada Juni.
Pemilihan awalnya ditetapkan pada Agustus 2020, tetapi ditunda karena pandemi virus corona. Itu dianggap sebagai ujian bagi persatuan negara yang rapuh.
Penundaan ini ditantang banyak partai regional dan kelompok etnis yang bangkit kembali.
Pada tahun 2014, batas antara kedua negara bagian itu dibuat ulang oleh pemerintah federal, kemudian dipimpin oleh koalisi multi-etnis yang berkuasa, Front Demokrasi Revolusioner Rakyat Ethiopia (EPRDF).
Tiga kota kecil dipindahkan ke Afar dari Somalia, yang sejak itu berusaha memenangkan mereka kembali.
Akibatnya milisi dari dua negara bagian timur telah bentrok sebelumnya karena sengketa perbatasan mereka.
Pada Oktober 2020. 27 orang tewas dalam gelombang bentrokan di perbatasan, dengan masing-masing pihak saling menyalahkan.
Pemerintah Abiy juga berada di bawah tekanan untuk menangani laporan kekerasan antara dua kelompok etnis terbesar di negara itu, Oromos dan Amhara.
Ethiopia terbagi menjadi 10 wilayah federal semi-otonom, yang sebagian besar dibentuk menurut garis etnis, dan sengketa tanah dan politik antara negara bagian sering mengarah pada kekerasan.
Abiy, pemimpin Oromo pertama di negara itu, mengambil alih kekuasaan pada 2018 setelah beberapa tahun terjadi protes anti-pemerintah.
Masa jabatannya telah dirusak oleh kekerasan yang terus-menerus dan mengerikan, yang merusak sekat-sekat etnis.(Tribunnews.com/Aljazeera.com/xna)