TRIBUNNEWS.COM - Juru bicara pemerintah militer atau Junta Myanmar, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun menggelar konferensi pers di ibu kota, Naypyidaw, Jumat (9/4/2021).
Dalam konferensi pers tersebut, Zaw Min Tun mengatakan militer telah mencatat 248 kematian warga sipil dan 16 kematian polisi, akibat aksi protes yang telah berlangsung sejak penggulingan Aung San Suu Kyi, 1 Februari 2021.
Dikutip dari Channel News Asia, angka kematian itu berbeda dengan catatan kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP).
AAPP mencatat, pasukan keamanan telah membunuh 614 orang termasuk 48 anak-anak per Kamis (8/4/2021) malam.
Selain itu, kata AAPP, lebih dari 2.800 orang telah ditahan oleh pasukan keamanan dan tidak diketahui keberadaanya.
"614 orang termasuk 48 anak-anak telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta. Lebih dari 2.800 orang ditahan," kata AAPP dalam sebuah pernyataan.
Lebih lanjut, Zaw Min Tun mengatakan bahwa aksi protes terhadap pemerintahannya kini berkurang sejak masyarakat menginginkan perdamaian.
Baca juga: Legislator Golkar Harap Efektivitas KTT ASEAN untuk Solusi Krisis Politik Myanmar
Pihak Junta kemudian meminta masyarakat bekerjasama dengan pasukan keamanan untuk membantu mereka.
"Alasan mengurangi protes adalah karena kerja sama masyarakat yang menginginkan perdamaian, yang kami hargai," kata Zaw Min Tun.
"Kami meminta masyarakat untuk bekerja sama dengan pasukan keamanan dan membantu mereka," sambungnya.
Junta berencana akan segera memulihkan demokrasi dengan mengadakan pemilihan dalam dua tahun.
Secepatnya, lanjut Zaw Min Tun, negara kembali normal dan kementerian pemerintah serta bank segera beroperasi penuh.
18 Duta Besar Menentang Junta Myanmar
18 duta besar di Myanmar menyerukan dukungannya terhadap demonstran antikudeta yang mengharapkan kedamaian dan pemulihan demokarasi.
Perwakilan negara-negara tersebut juga ingin tindak kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan dihentikan, dan semua tahanan politik dibebaskan.
"Kami berdiri bersama untuk mendukung harapan dan aspirasi semua orang yang percaya pada Myanmar yang bebas, adil, damai dan demokratis."
"Kekerasan harus dihentikan, semua tahanan politik harus dibebaskan dan demokrasi harus dipulihkan," tulis 18 duta besar.
Adapun 18 duta besar yang menandatangani pernyataan tersebut di antaranya, duta besar Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, Kanada, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Swiss dan beberapa negara Eropa lainnya.
Menanggapi pernyataan itu, Zaw Min Tun mengatakan menghomati saran dari negara tetangga dan negara-negara besar.
Pihak Junta pun menghormati pendapat-pendapat orang-orang kuat dalam politik untuk Myanmar.
"Saran dari negara tetangga dan negara besar serta orang-orang kuat dalam politik, kami menghormati mereka," kata Zaw Min Tun.
Zaw Min Tun kemudian membantah laporan bahwa beberapa anggota komunitas internasional tidak mengakui Junta.
Diakui Zaw Min Tun, justru Junta menjalin kerjasama dengan negara tetangga dan negara asing lainnya.
Berbeda dengan pengakuan Zaw Min Tun, utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener mengatakan telah ditolak oleh para jenderal.
Christine Schraner Burgener mengatakan, dirinya ingin mengunjungi Myanmar dan telah tiba di Bangkok, Thailand pada Jumat (9/4/2021).
"Saya menyesal Tatmadaw (Angkatan Bersenjata Myanmar) menjawab saya kemarin karena mereka tidak siap menerima saya," kata Christine Schraner Burgener.
Baca juga: Inggris Izinkan Duta Besar Myanmar yang Dikudeta untuk Tetap Tinggal
Adapun maksud kedatangan Christine Schraner Burgener adalah untuk berdialog dengan Junta.
Sebab, menurutnya, tindak kekerasan yang dilakukan Junta dalam menanggapi aksi protes warga sipil tidak akan pernah menghasilkan perdamaian.
"Saya siap untuk berdialog. Kekerasan tidak pernah menghasilkan solusi damai yang berkelanjutan," lanjut hristine Schraner Burgener melalui akun resmi Twitter-nya.
Batasi Gerakan Antikudeta, Junta Militer Myanmar Putus Akses Internet
Junta Myanmar ingin menghentikan pertukaran informasi di antara demonstran antikudeta dengan memutus total akses internet pada Kamis (8/4/2021).
Dua penyedia layanan internet, MBT dan Infinite Networks tidak mengetahui apakah pemutusan akses internet hanya untuk sementara atau selamanya.
MBT mengatakan, layanannya dihentikan dengan memutuskan jalur antara Kota Yangon dan Kota Mandalay, dua kota terbesar di Myanmar.
Meski baru-baru ini pemutusan total terjadi, tetapi pengguna internet telah mengeluhkan lambatnya koneksi selama seminggu terakhir.
Dikutip dari Channel News Asia, pihak berwenang diketahui menghentikan layanan internet secara bertahap sejak penggulingan Aung San Suu Kyi, 1 Februari 2021.
Awalanya mereka memblokir media sosial, yang mana cara itu tidak berjalan efektif karena Facebook masih bisa diakses penentangnya dengan cara tertentu.
Kemudian, mereka memutus akses internet hanya pada malam hari, hingga akhirnya kini memberlakukan larangan total penggunaan data seluler.
Lebih lanjut, junta juga melarang penggunaan televisi satelit atau parabola.
Di Laputta dan kota-kota lain di Delta Irrawaddy barat daya Kota Yangon, kendaraan pemerintah setempat memberikan pengumuman melalui pengeras suara.
Penggunaan TV satelit, kata pihak junta, tidak lagi legal dan pemiliknya harus segera menyerahkan antena parabola ke polisi.
Di samping itu, polisi juga menggerebek toko yang menjual peralatan terkait TV satelit dan menyita barang-barang di sana.
Media berita online Khit Thit Media dan Mizzima mengatakan tindakan serupa diambil di negara bagian Mon di tenggara negara itu.
Adapun penyitaan tersebut dilakukan karena TV satelit dianggap telah digunakan demonstran untuk mengakses siaran berita internasional.
Sementara itu, sejak kudeta, semua surat kabar harian swasta telah berhenti terbit dan situs berita onlinenya diawasi secara ketat oleh junta.
Lima media berita independen populer di 'negeri seribu pagoda' itu dicabut izin operasinya pada awal Maret, dan diminta berhenti menerbitkan atau menyirakan informasi di semua platform.
Akan tetapi sebagian besar media berita tersebut menentang perintah junta.
Tak hanya itu, sekira 30 jurnalis telah ditangkap sejak kudeta dan hingga kini masih ditahan.
Setengah dari mereka didakwa melanggar undang-undang yang mencakup peredaran informasi yang dapat merugikan keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum.
Ancaman hukuman yang dikenakan untuk pelanggar undang-undang itu yakni tiga tahun penjara.
Menindaklanjuti penahanan itu, Komite untuk Melindungi Jurnalis yang berbasis di New York menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat dari semua jurnalis yang ditahan setelah penangguhan demokrasi pada 1 Februari dan penerapan aturan darurat.
Kelompok tersebut mengatakan bahwa sejak pengambilalihan militer, kondisi kebebasan pers dengan cepat dan drastis memburuk di Myanmar.
"Laporan berita menunjukkan jurnalis telah dipukuli, ditembak dan terluka oleh peluru tajam dan secara sewenang-wenang ditangkap dan didakwa oleh pasukan keamanan sambil hanya melakukan tugas mereka untuk meliput demonstrasi dan tindakan keras pembalasan rezim Anda," tulis kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Berita lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)