TRIBUNNEWS.COM, ADDIS ABABA - Ethiopia telah mengumumkan keadaan darurat di bagian selatan negara bagian Amhara di tengah kekerasan yang meledak di berbagai kota.
Dalam sebuah pernyataan Minggu (18/4/2021), Kementerian Pertahanan mengatakan dalam tiga hari terakhir terjadi kekerasan bersenjata yang mematikan di kota Ataye dan beberapa daerah lain di zona khusus Oromia.
Wilayah Amhara didominasi kelompok etnis Amhara, etnis terbesar kedua di Ethiopia, tetapi zona khusus Oromo dihuni terutama oleh Oromos, kelompok yang dominan secara numerik.
Deklarasi darurat datang sehari setelah militer Ethiopia mengerahkan pasukan ke zona North Shoa dan zona khusus Oromo.
Langkah itu menggarisbawahi ketidakamanan yang terus-menerus melampaui wilayah Tigray yang dilanda perang Ethiopia menjelang pemilihan nasional yang direncanakan pada Juni.
Baca juga: Konflik di Perbatasan Somalia-Ethiopia Tewaskan Sekurangnya 100 Orang
Baca juga: Saksi Mata Ungkap Pria Bersenjata Bunuh 30 Orang dalam Serangan di Ethiopia Barat
Baca juga: PM Ethiopia Klaim Pasukan Pemerintah Telah Kendalikan Ibu Kota Kekuasaan Tigray
Ratusan Orang Tewas Awal Bulan Ini
Kepala Ombudsman Ethiopia, Endale Haile, mengatakan kepada kantor berita AFP awal bulan ini kekerasan di Amhara telah menewaskan lebih dari 300 orang selama beberapa hari di bulan Maret.
Jemal Hassen Mohammed, kepala administrator daerah Jile-Temuga di zona khusus Oromo, mengatakan kekerasan dimulai pada 19 Maret.
Dipicu ketika seorang pemimpin sholat etnis Oromo ditembak mati di luar sebuah masjid, yang memicu bentrokan antara pasukan keamanan Amhara dan warga sipil etnis Oromo.
Perdana Menteri Abiy Ahmed berada di bawah tekanan yang meningkat untuk mengatasi kekerasan di Amhara dan di tempat lain.
"Pemerintah harus memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi rakyat," kata Komisi Hak Asasi Manusia Ethiopia lewat pernyataan awal pekan ini.
Kekerasan di Amhara telah menyebabkan bentrokan antara sayap Oromo dan Amhara dari Partai Kemakmuran Abiy, yang secara terbuka saling menuduh bertanggung jawab.
PM Abiy Ahmed berkuasa pada 2018 setelah beberapa tahun protes anti-pemerintah yang dilakukan oleh pemuda Amhara dan Oromo.
Dia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun berikutnya, tetapi masa jabatannya dirusak oleh kekerasan etnis.
Para analis memperingatkan pemilihan nasional yang sangat dinantikan yang dijadwalkan pada 5 Juni dapat membawa ketidakamanan lebih lanjut.
Mereka mengatakan kerusuhan yang berlanjut dapat menghambat upaya untuk mengatur pemungutan suara.
Birtukan Medeksa, Ketua Dewan Pemilihan Nasional, mengatakan ketidakamanan telah menghentikan sementara pendaftaran pemilih di beberapa lokasi, termasuk zona khusus Shoa Utara dan Oromo.(Tribunnews.com/Aljazeera.com/xna)