TRIBUNNEWS.COM - Editor pertahanan dan keamanan Mirror Chris Hughes menulis mengapa konflik bisa pecah lagi di Timur Tengah, termasuk awal bagaimana konflik itu dimulai, seperti apa penyelesaiannya, dan apakah Donald Trump memperburuk situsinya.
Israel menghantam Gaza dengan rudal pada Selasa (11/5/2021) malam, menewaskan sedikitnya 26 orang termasuk sembilan anak-anak dan seorang komandan Hamas.
Israel mengatakan 15 orang yang tewas adalah militan, dan militernya mengirim bala bantuan ke perbatasan Gaza serta memanggil 5.000 tentara cadangan.
Militan Palestina menembakkan lebih dari 250 roket ke Israel, menewaskan dua wanita di kota Ashkelon.
Baca juga: Masih Terus Digempur, Korban Tewas Akibat Serangan Israel di Gaza Bertambah Jadi 103 Orang
Baca juga: Israel Tengah Mempersiapkan Serangan Darat ke Jalur Gaza
Sirene peringatan tembakan roket yang masuk terdengar di Tel Aviv dan Israel tengah.
Beberapa ledakan juga terdengar beberapa menit setelah militan Gaza, Hamas dan Jihad Islam bersumpah untuk menanggapi serangan udara Israel di Jalur Gaza.
Hamas mengatakan telah menembakkan 130 roket ke Tel Aviv dan sekitarnya.
Satu orang tewas dalam serangan roket di kota itu, menurut stasiun TV Channel 12 Israel.
Semua penerbangan di Bandara Ben Gurion Tel Aviv dihentikan di tengah api yang berlanjut dari Gaza.
Serangan demi serangan itu terjadi setelah bentrokan antara polisi dan warga Palestina di Yerusalem, yang memicu kekhawatiran perang pertama di kawasan itu sejak 2014, di mana 1.500 orang tewas.
Sebanyak 700 warga Palestina terluka, 500 di antaranya dirawat di rumah sakit, dengan gejolak hampir terjadi di seluruh kota.
Israel dianggap memiliki pemerintahan yang lemah, dengan Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri pengganti sejak pemilihan umum yang tidak meyakinkan pada bulan Maret lalu.
Sementara itu, pemimpin Palestina, Mahmoud Abbas, juga berada dalam posisi yang lemah, dengan Hamas memposisikan dirinya sebagai pelindung Palestina.
1. Bagaimana konflik dimulai?
Konflik terjadi di bulan Ramadhan tepatnya pada perayaan Hari Yerusalem (Minggu 9 Mei hingga Senin 10 Mei), menandai konflik Arab-Israel 1967 atau Perang Enam Hari.
Warga Palestina marah karena dibatasinya gerakan mereka ke Kota Tua Yerusalem, tempat mereka berkumpul untuk sholat selama Ramadan.
Yerusalem Timur, yang juga dianggap sakral secara agama oleh orang Palestina, dicaplok oleh Israel pada tahun 1967.
Kebijakan pemukim Israel di wilayah itu telah meningkatkan kekerasan antara warga Palestina dan polisi yang dituduh melakukan kekerasan.
Konfrontasi juga berkobar di kompleks Masjid al-Aqsa, situs Islam tersuci ketiga, yang dibangun di Temple Mount, situs tersuci dalam Yudaisme.
Selama empat hari berturut-turut, polisi Israel menembakkan gas air mata, granat kejut, dan peluru karet ke arah warga Palestina di kompleks tersebut, yang dibalas dengan melemparkan batu dan kursi.
2. Bagaimana kebijakan pemukim di Yerusalem?
Lebih dari 600.000 orang Israel hidup sebagai pemukim di Tepi Barat dan Yerusalem Timur di rumah-rumah yang telah dibangun sejak perang 1967.
Secara internasional, permukiman itu ilegal.
Warga Palestina marah adanya rencana sidang yang akan memutuskan penggusuran penduduknya dari Yerusalem Timur.
Penggusuran warga Palestina itu dimaksudkan untuk memberi jalan bagi lebih banyak pemukim Yahudi.
Pengadilan Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan pemukim Israel melanggar hukum internasional.
Pemukiman melanggar Konvensi Jenewa Keempat yang memutuskan:
"Yang menduduki kekuasaan tidak boleh mendeportasi atau mentransfer sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke dalam wilayah yang didudukinya."
Karena Israel adalah yang menduduki kekuasaan, tindakan itu melanggar hukum, meskipun ia berpendapat bahwa wilayah-wilayah ini berada dalam wilayah kekuasaannya.
Ada lebih dari selusin permukiman di luar Yerusalem yang dianggap oleh Israel berada di dalam wilayah Israel meski secara internasional ilegal.
Sekitar tiga persen dari Tepi Barat dihuni oleh pemukim, yang berjumlah sekitar 400.000 dan ada sekitar 200.000 di Yerusalem timur.
Hanya ada 130.000 rumah pemukim yang disetujui pemerintah.
Tapi ada juga 100 permukiman lainnya yang disebut “pos terdepan”, didirikan dekat dengan permukiman yang lebih permanen.
Wilayah itu tidak diakui secara resmi tetapi mereka memiliki perlindungan militer dari Angkatan Pertahanan Israel.
3. Apakah mantan presiden AS Donald Trump memperburuk situasi?
Donald Trump memperkuat kendali Israel atas wilayah Palestina dan meningkatkan kemarahan Palestina dengan keputusannya untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah itu membuat Amerika seolah menyetujui klaim Israel yang menganggap Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Presiden AS sebelumnya selalu menunda langkah tersebut, karena tahu itu akan menambah api ke wilayah yang mudah terbakar.
4. Mengapa situasinya menjadi begitu buruk sekarang?
Kombinasi dari pemerintah Israel yang lemah dan otoritas Palestina yang tidak populer membuat Hamas di Gaza putus asa untuk memproyeksikan kekuatan melalui serangan.
Kondisi ini menarik perhatian militan Palestina, yang sangat membutuhkan kepemimpinan yang kuat, dan juga menenangkan para paymaster dari luar seperti Iran, yang memasoknya dengan senjata.
Di Hari Yerusalem, dari malam 9 Mei hingga 10 Mei, pembatasan Ramadhan pada jamaah di Kota Tua dan kasus penggusuran pemukim seolah menciptakan badai yang sempurna.
5. Apa yang kedua belah pihak katakan tentang situasi tersebut?
Pemimpin Israel Netanyahu telah memperingatkan hal-hal buruk akan datang.
Setelah bertemu dengan pejabat pertahanan senior, ia mengatakan Israel akan "meningkatkan lebih banyak kekuatan serangan dan juga tingkat serangan" terhadap Hamas dan Jihad Islam.
Ia menambahkan,"Hamas akan menerima pukulan sekarang yang tidak diharapkannya."
Otoritas Palestina mengonfirmasi sedang berusaha mencapai kesepakatan gencatan senjata.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan "serangan tanpa henti" Israel telah membebani sistem perawatan kesehatan, yang telah berjuang melawan pandemi.
6. Bagaimana reaksi dunia?
Negara tetangga, Mesir, mencoba menengahi perdamaian antara kedua belah pihak.
Tetapi di tempat lain di dunia Muslim, taktik keras Israel atas akses bagi jamaah Palestina ke Masjid al-Aqsa menimbulkan kemarahan.
Kementerian luar negeri Arab Saudi meminta seluruh dunia untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakannya.
7. Apakah ada solusinya?
Dalam jangka pendek, gencatan senjata menjadi solusi.
Hamas dan Israel sama-sama harus mundur meski keduanya berada di bawah tekanan besar untuk mengambil "sikap tegas."
Sementara untuk jangka panjang, solusi antara dua negara yang mungkin menjadi satu-satunya hasil dari perang bertahun-tahun, adalah menawarkan Palestina negaranya sendiri.
Meskipun kompleksitas wilayah yang tumpang tindih sangat besar, keduanya akan hidup berdampingan.
Israel akan mendapatkan keamanan dan mempertahankan mayoritas demografis.
Masalahnya adalah tidak ada yang mau melepaskan klaim mereka atas Yerusalem, yang sama-sama mereka inginkan sebagai ibu kota mereka dan yang harus dibagi menjadi Israel barat dan Palestina timur.
Israel telah banyak berinvestasi dalam penguasaannya atas timur, dan situs-situs keagamaan besar secara virtual berada di atas satu sama lain dan tidak dapat digerakkan.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Berita lain seputar Israel Serang Jalur Gaza