TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai dukungan 138 negara di dunia atas kemerdekaan Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat, tidak lagi di bawah kendali Israel saat ini harus bisa dimanfaatkan secara maksimal Indonesia.
Indonesia bisa meningkatkan perannya dalam berdiplomasi dengan melakukan lobi terhadap 'goverment to goverment' dan 'people to people' ke 138 negara tersebut, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa
"Saat ini sudah ada 138 negara yang mengakui kemerdekaan Palestina, berarti sudah 70 persen negara di dunia yang mengakui. Tetapi pertanyaannya, kenapa Amerika Serikat mempertahankan Israel dan menolak kemerdekaan Palestina," kata Henwira Halim, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri DPN Partai Gelora Indonesia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (19/5/2021).
Baca juga: Tiga WNA Diamankan saat Ikut Aksi Dukung Palestina di Depan Kedubes AS
Menurut Henwira, selama AS masih membackup penuh Israel, maka akan dibutuhkan upaya lebih besar untuk memerdekakan Palestina dari penjajahan negara Yahudi itu.
"Jadi selama Amerika Serikat terus membacking Israel, maka semakin rumit dan dibutuhkan effort (upaya) yang besar untuk mencapai kemerdekaan Palestina," katanya.
Untuk membentuk sebuah negara merdeka dan berdaulat, kata Henwira, diperlukan empat syarat, yakni populasi, wilayah, pemerintahan dan pengakuan.
Namun, karena pertarungan kepentingan geopolitik global, kemerdekaan Palestina terus terganjal, meski 70 persen negara didunia sudah memberikan dukungan.
Sebab, Amerika Serikat dan sebagian negara Barat ingin mempertahankan pengaruhya di Timur Tengah (Timteng) dengan memberikan dukungan kepada Israel.
Baca juga: Israel Berkali-kali Gagal Lenyapkan Muhammad Deiff, Pemimpin Sayap Militer Hamas
Dukungan kepada Israel tersebut, adalah untuk mempertahankkan pengaruh mereka baik secara politik, keamanan, investasi dan upaya melakukan eksplorasi dalam mendapatkan sumber daya alam baru.
"Palestina ini korban politik geopolitik global. Warga Palestina yang jadi korban kolateral (agunan) geopolitik, sehngga Amerika ragu-ragu mengutuk Israel, apalagi mengambil tindakan tegas," katanya.
Namun, sikap AS tersebut mulai bergeser oleh tekanan perkembangan internasional mengenai Palestina, serta dinamika politik dan sosial yang terjadi di dalam negeri negeri Paman Sam itu sendiri.
Bahkan para Senator dari Partai Demokrat juga sudah mendesak agar segera ada genjatan senjata antara Israel-Palestina, dan meminta Presiden AS Joe Biden bersikap keras ke Israel
"Senator Demokrat menilai Israel sudah dianggap tidak punya moral, tidak demokratis dan rasis, bahkan apartheid. Kalau sudah menuduh rasis dan apartheid itu sudah tuduhan berat. 28 Senator dari demokrat ingin ada genjatan senjata dan meminta Presiden Joe Biden keras kepada Israel," katanya.
Baca juga: Hidayat Nur Wahid Sesalkan Adanya Kelompok dan Individu Nusantara yang Dukung Israel Jajah Palestina
Henwira menjelaskan, saat ini di publik AS sudah ada pergeseran pemahaman yang berbeda mengenai Palestina dan Islam, yang menganggapnya bukan lagi terorisme, tetapi sudah menyangkut sisi kemanusian.
"Selama ini mengatakan, haknya Israel membela diri. Menyerang roket memang salah, tetapi ketika tidak ada harapan merdeka, putus asa, sikap warga Palestina juga tidak bisa disalahkan. Jadi ada pergerseran pemahaman," kata Peneliti Seniior LESPERSSI ini.
Karena itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) diharapkan bisa memainkan perannya lebih dalam untuk mendesak AS dan Uni Eropa, serta negara di dunia lainnya melalui 'govermment to goverment' dan menarik simpati masyarakatnya 'people to people' .
"Kita merdeka juga karena ada tekanan internasional kepada Belanda, harus ada diplomasi mengajak negara lain. Tetapi people to peolpe juga penting supaya nyambung agar AS dan Uni Eropa mengajak warganya sendiri untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Ini bisa difaslitasi kedutaan," pungkas Henwira.