TRIBUNNEWS.COM - Nasib pilu dialami oleh bocah Palestina bernama Suzy Ishkontana.
Suzy yang baru berusia 7 tahun ini mengalami trauma berat sejak kediamannya dihantam serangan udara Israel.
Suzy dan keluarganya tertimbun di dalam reruntuhan bangunan rumahnya selama tujuh jam.
Di mana, dalam reruntuhan tersebut, saudara dan ibunya meninggal dunia di dekatnya.
Baca juga: Guru Besar UI: Konflik Israel-Palestina Sangat Kompleks, Multi Dimensi
Suzy mengalami trauma hingga hampir tak berbicara dan makan selama dua hari sejak berhasil dievakuasi.
Sementara, saudara kandung dan Ibu Suzy yang dinyatakan meninggal dunia, telah dimakamkan di bawah reruntuhan rumah mereka pada Minggu (16/5/2021) pagi.
Ayah Suzy, Riad Ishkontana, berhasil selamat dari serangan Israel yang membabi buta itu.
Ia pun menceritakan situasi saat dirinya terjebak di dalam reruntuhan.
Selama lima jam di bawah reruntuhan, Riad mengaku terjepit di bawah sebongkah beton dan tidak dapat menjangkau istri dan kelima anaknya.
"Saya mendengarkan suara mereka di bawah reruntuhan. Saya mendengar Dana dan Zain memanggil, 'Ayah! Ayah! 'Sebelum suara mereka memudar dan kemudian saya menyadari mereka telah meninggal," katanya, dikutip dari APNews.
Baca juga: Pejabat Hamas Prediksi Gencatan Senjata Israel-Palestina akan Segera Terjadi: Mungkin dalam 24 Jam
Setelah Riad berhasil diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit, keluarga dan staf menyembunyikan kebenaran tentang istri dan anaknya telah tiada.
"Saya mengetahui tentang kematian mereka satu demi satu," kata Riad.
Hingga akhirnya, Riad mendengar, Suzy, anak kedua dari tiga putri dan dua putranya, satu-satunya yang berhasil selamat.
Sayangnya, saat di evakuasi ke rumah sakit, dokter mengatakan Suzy mengalami trauma berat.
"Meski Suzy hanya mengalami memar fisik selama tujuh jam di bawah reruntuhan, gadis muda itu berada dalam trauma dan syok yang parah," kata Dokter anak Dr. Zuhair Al-Jaro.
Sementara, ia mengatakan, rumah sakit tidak bisa memberi perawatan psikologis yang Suzy butuhkan karena pertempuran yang sedang berlangsung.
"Dia mengalami depresi berat," tegas sang dokter.
Saat ayahnya diwawancarai, Suzy duduk di tempat tidur di sebelahnya.
Baca juga: Kenapa Israel Hancurkan Rumah, Serang Warga, dan Gedung Vital di Gaza? Ini Penjelasan Analis
Suzy diam dan mengamati wajah orang-orang di ruangan itu, tetapi jarang melakukan kontak mata.
Ketika ditanya apa yang dia inginkan ketika dia besar nanti, dia berpaling.
Ketika ayahnya mulai menjawab, mengatakan Suzy ingin menjadi seorang dokter, gadis itu mulai menangis dengan keras.
Pria berusia 42 yang baru-baru ini berhenti bekerja sebagai pelayan karena penguncian virus corona mengatakan, Suzy cerdas dan paham teknologi serta menyukai smartphone dan tablet.
"Dia menjelajahinya, dia memiliki lebih banyak pengalaman berurusan dengan mereka daripada saya," katanya.
"Dia juga suka belajar dan akan mengumpulkan semua saudara kandungnya ke dalam sebuah "kelas" permainan, mengambil peran sebagai guru mereka," tambah Riad.
Kisah Suzy menjadi satu dari sekian cerita dampak pertempuran antara Israel dan Palestina selama dua pekan terakhir ini.
Baca juga: Jurnalis Palestina Tewas di Rumahnya dalam Serangan Udara Israel
Anak-anak sangat rentan mengalami trauma dalam pemboman masif yang dilakukan tentara Israel di Jalur Gaza.
Sejauh ini, konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza menewaskan 217 orang dari pihak Palestina, dengan 63 di antaranya anak-anak.
Sementara di pihak Israel, 12 orang telah terbunuh oleh roket Hamas, termasuk bocah berusia 5 tahun.
Pakar Nilai Israel Hanya Mengenal Bahasa Kekerasan
Sebelumnya diberitakan, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia, Prof Salim Haji Said, ikut menanggapi pertempuran antara Israel dan Palestina yang terjadi dalam sepekan terakhir ini.
Prof Salim yang juga seorang pengamat militer ini mengaku tidak kaget lagi jika Israel kembali menyerang Palestina.
Sebab, menurutnya, Israel hanya mengenal bahasa kekerasan.
Baca juga: Tak Peduli Desakan untuk Akhiri Konflik, PM Israel Justru Berjanji Lanjutkan Serangan ke Jalur Gaza
Untuk itu, segala macam diplomasi yang dicoba selama puluhan tahun tak kunjung membuahkan hasil.
"Israel itu bahasa yang dia kenal hanya satu, bahasa kekerasan. Segala macam diplomasi sudah diadakan sejak puluhan tahun lalu."
"Tapi Israel tidak pernah memperhatikan karena dia itu kuat maka tidak ada yang mengancam dia," kata Prof Salim, dalam tayangan Youtube tvOne, Senin (17/5/2021).
Prof Salim juga menjelaskan, Israel selalu mendapat dukungan dari Internasional, terlebih dari negera adidaya, Amerika Serikat.
Untuk itu, Israel menjadi kuat dan tidak kekurangan alat atau senjata untuk melakukan serangan.
"Dia kuat dan dapat dukungan internasional, senjatanya tidak kurang," kata ilmuwan politik ini.
Lantaran hanya mengenal kekerasaan, Prof Salim tak heran saat Israel tidak peduli dari dampak serangannya kepada Palestina.
Dampak kekerasan tersebut, lanjut Prof Salim, tidak akan menjadi penghalang untuk menyudahi konflik.
Terlebih, Israel memiliki sebuah trauma masa lalu akibat kejahatan genosida selama perang dunia kedua.
"Israel tidak peduli, soal moral tidak penting, juga harus kita mengerti Israel adalah negara yang punya trauma perlakuan Yahudi di jaman perang dunia kedua yang dilakukan oleh Hitler."
"Oleh sebab itu dia hancurkan potensi lawannya, karena tidak mau lagi kejadian teraniaya di bawah Nazi."
"Begitulah cara berpikirnya, jadi saya tidak terkejut apa yang dia lakukan itu (menyerang Palestina)," ungkap Prof Salim.
(Tribunnews.com/Maliana)
Berita lain tentang Israel Serang Jalur Gaza