Tahun ia lulus, 1987, menandai dimulainya pemberontakan massal Palestina pertama melawan pendudukan Israel, yang dikenal sebagai Intifada Pertama.
Dan selanjutnya berdirilah Hamas sebagai kelompok resmi di Palestina.
Dipenjara hingga Upaya Pembunuhan
Otoritas Israel pernah memenjarakan Haniyeh selama 18 hari ketika dia ikut serta dalam protes menentang pendudukan.
Setahun kemudian, pada tahun 1988, dia dipenjara lagi selama enam bulan.
Ia menghabiskan tiga tahun di penjara lagi pada tahun 1989 dengan tuduhan bahwa dia adalah anggota Hamas, ketika Intifada dibuka.
Setelah dibebaskan, Israel mendeportasi Haniyeh ke Lebanon Selatan bersama dengan para pemimpin senior Hamas lainnya.
Baca juga: Istana Minta Masyarakat Hentikan Perdebatan Soal Palestina-Israel yang Dapat Timbulkan Perpecahan
Setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina, dia kembali ke Gaza.
Haniyeh naik pangkat dalam gerakan sebagai asisten dekat dan asisten salah satu pendiri Hamas, almarhum Sheikh Ahmed Yassin, pada tahun 1997.
Pada tahun 2001, ketika Intifadah kedua meletus, Haniyeh memperkuat posisinya sebagai salah satu pemimpin politik Hamas, peringkat ketiga setelah Yassin dan Abdul Aziz al-Rantisi.
Haniyeh dan Yassin lolos dari kematian pada tahun 2003, dalam upaya pembunuhan Israel yang gagal dalam bentuk serangan udara di sebuah blok apartemen di pusat kota Gaza.
Baca juga: KSP Moeldoko: Indonesia Tak Pernah Berubah, Tetap Kecam Serangan Israel ke Palestina
Beberapa bulan kemudian, Yassin, yang lumpuh, menjadi sasaran dan dibunuh oleh helikopter Israel saat dia meninggalkan masjid setelah shalat subuh.
Haniyeh menjadi terkenal pada tahun 2006 ketika dia memimpin Hamas memenangkan pemilu legislatif atas gerakan Fatah, yang telah berkuasa selama lebih dari satu dekade.
(Tribunnews/Garudea Prabawati)