TRIBUNNEWS.COM - Parlemen Irlandia mengeluarkan mosi parlementer yang mengutuk 'aneksasi de facto' oleh pemerintah Israel atas Palestina.
Mosi itu diajukan partai oposisi, Sinn Fein dan disahkan pada Rabu (26/5/2021) setelah mendapat dukungan dari banyak partai.
Dengan ini, Irlandia menjadi negara Uni Eropa pertama yang menggunakan frasa 'aneksasi de facto' sehubungan dengan tindakan Israel di Palestina.
Menteri Luar Negeri Irlandia Simon Coveney mengatakan, mosi ini adalah sinyal jelas dari perasaan seluruh bangsa Irlandia, Selasa (25/5/2021).
"Skala, kecepatan, dan sifat strategis dari tindakan Israel pada perluasan pemukiman dan maksud di baliknya telah membawa kami ke titik di mana kami harus jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," kata Coveney, dikutip dari Al Jazeera.
"Ini adalah aneksasi de facto," kaata politisi partai kanan-tengah, Fine Gael ini di depan parlemen.
Baca juga: Respon Guru yang Sebar Hoaks Konflik Palestina-Israel, Wagub DKI: Guru Tugasnya Mendidik
Baca juga: Jawab Menlu AS, Pemimpin Hamas Janji Tak Akan Sentuh Bantuan Rekonstruksi Gaza
Coveney mengatakan, mosi ini adalah langkah yang tidak mudah bagi Irlandia.
"Ini bukanlah sesuatu yang saya, atau dalam pandangan saya, (parlemen) ini, katakan dengan enteng. Kami adalah negara Uni Eropa pertama yang melakukannya."
"Tapi itu mencerminkan keprihatinan besar yang kami miliki tentang maksud dari tindakan tersebut dan tentu saja, dampaknya," katanya.
Coveney sebelumnya sempat mengecam serangan roket Hamas kepada Israel sebelum memberi dukungan kepada mosi ini.
"Tindakan teror oleh Hamas dan kelompok militan lainnya seharusnya tidak pernah dibenarkan," kata Coveney.
Mosi dari parlemen Irlandia ini muncul beberapa hari setelah gencatan senjata antara Israel dengan kelompok bersenjata Palestina.
Penyerangan udara yang dilakukan Israel ke Jalur Gaza sempat memicu protes pro-Palestina di Dublin.
Adapun mosi ini disambut baik sejumlah pengguna media sosial.
"Irlandia telah menjadi negara Uni Eropa pertama yang mengakui aneksasi de facto Israel atas Palestina yang bertentangan dengan hukum internasional," cuit Ronan Burtenshaw, editor Majalah Tribune Magazine.
Dilansir The Guardian, selama lebih dari 50 tahun, Israel mempertahankan pendudukan atas wilayah Palestina.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pejabat pemerintah Israel berkali-kali mengumumkan niat untuk mengklaim atau mencaplok tanah secara permanen.
Perbedaan antara pendudukan dan aneksasi sangat penting karena warga Palestina yang tinggal di tanah yang dianeksasi secara teknis akan tinggal di dalam Israel tanpa hak kewarganegaraan.
Pejabat Palestina dan beberapa kelompok hak asasi berpendapat bahwa situasi ini sudah ada di bawah aneksasi "de facto".
Sekitar 450.000 pemukim Israel tinggal di Tepi Barat yang diduduki, di antara sekitar 3 juta warga Palestina.
Meski sebagian besar negara melihat pemukiman Israel itu ilegal, tapi negara Yahudi ini menunjukkan hubungan historisnya dengan tanah Palestina.
Dalam konflik selama 11 hari lalu, otoritas kesehatan Palestina mencatat ada 254 korban meninggal dunia di Gaza termasuk di antaranya 66 anak.
Baca juga: Jepang Bertekad Bantu Damaikan Ketegangan Israel dan Palestina
Baca juga: Kunjungi Kairo, Menlu AS Bahas Gencatan Senjata Israel dan Palestina di Gaza
Sedikitnya 12 orang, termasuk dua anak, tewas di Israel akibat serangan roket Hamas dan kelompok bersenjata lainnya yang berbasis di Gaza.
Diketahui kekerasan di Gaza terjadi pasca penyerangan Israel kepada jamaah Palestina di Masjid Al Aqsa, Yerusalem hingga melukai ratusan orang.
Peperangan meletus pada 10 Mei, ketika Hamas menembakkan roket-roketnya menuju Israel.
Konflik di Yerusalem juga berkaitan dengan ancaman penggusuran warga Palestina di Yerusalem Timur untuk ditinggali penduduk Yahudi.
Berita terkait Israel Serang Jalur Gaza
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)