TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Sembilan negara yang tergabung dalam ASEAN mengusulkan agar draf Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan pembebasan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Draf resolusi PBB ini sedang disusun setelah sempat ditunda pemungutan suaranya pada menit-menit terakhir pekan lalu.
Sembilan negara ASEAN adalah Brunei, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Myanmar tidak termasuk.
Mereka menyurati Liechtenstein, selaku penyusun draf resolusi, itu Rabu (19/5), dan dilihat Reuters pada Jumat (28/5).
Dalam surat itu, ASEAN menyatakan draf resolusi akan sulit mendapat dukungan luas, terutama dari semua negara yang terdampak langsung di kawasan itu.
Baca juga: Aung San Suu Kyi Muncul Pertama Kalinya di Sidang Sejak Ditangkap Junta Militer
ASEAN mengusulkan resolusi yang lebih lunak dibandingkan draf yang gagal diputuskan pekan lalu. Resolusi yang lebih lunak diharapkan dapat diterima dan didukung 193 anggota Majelis Umum PBB nantinya.
Di antara keinginan ASEAN adalah mencabut seruan embargo senjata untuk Myanmar dari resolusi.
Sebelumnya, draf resolusi menyerukan "penangguhan segera atas pasokan, penjualan atau transfer langsung dan tidak langsung semua senjata dan amunisi" ke Myanmar. ASEAN ingin bahasa itu dihapus.
ASEAN juga menghendaki adanya pernyataan keprihatinan atas ditahannya pemimpin Aung San Suu Kyi dan anggota partainya, NLD, oleh junta militer.
ASEAN menghendaki pembebasan Suu Kyi dan anggota partainya dengan segera dan tanpa syarat.
Baca juga: ASEAN Tolak Embargo Senjata untuk Myanmar
Juga disebutkan, negosiasi lebih lanjut itu diperlukan "untuk membuat draf tersebut dapat diterima, terutama bagi negara-negara yang paling terkena dampak langsung dan yang sekarang terlibat dalam upaya untuk menyelesaikan situasi".
"Ini juga merupakan keyakinan teguh kami bahwa jika resolusi Majelis Umum tentang situasi di Myanmar akan membantu negara-negara di ASEAN, maka itu perlu diadopsi melalui konsensus," tulis negara-negara tersebut, mengacu pada Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.
Resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum tetapi memiliki bobot politik. Berbeda dengan 15 anggota Dewan Keamanan, tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum.
Suu Kyi muncul dalam sidang Senin (24/5). Ini kemunculan pertamanya sejak ditahan junta menyusul kudeta empat bulan lalu. Junta militer tidak mengakui kemenangan partai Suu Kyi, National League for Democracy dan mengambil alih kekuasaan.
Dalam msidang itu, Suu Kyi mengatakan kepada pengacaranya bahwa, partainya NLD “akan tetap ada selama orang-orang ada.”
Baca juga: Ketua Pemilu Myanmar yang Ditunjuk Junta akan Pertimbangkan Pembubaran Partai NLD Aung San Suu Kyi
Bahkan, katanya, jika junta mengancam untuk membubarkan partainya- yang memenangkan pemilu pada tahun 2020 - atas dugaan penipuan pemilih.
Peraih Nobel ini, yang tak muncul di depan publik sejak kudeta Februari lalu, tampak "sehat dan percaya diri sepenuhnya" selama pertemuan 30 menit itu, kata pengacaranya Min Min Soe kepada AFP.
“Ia berharap rakyatnya tetap sehat sekaligus menegaskan NLD akan ada selama ada masyarakat karena didirikan untuk rakyat,” tambahnya, seperti dikutip dari The Star.
Suu Kyi didakwa dengan serangkaian tuduhan kriminal termasuk melanggar pembatasan virus Corona selama kampanye pemilihan tahun lalu dan memiliki walkie-talkie tanpa izin.
Kasus hukum Suu Kyi mengalami penundaan berminggu-minggu dan pengacaranya berjuang untuk mendapatkan akses ke klien mereka.
Baca juga: Junta Myanmar Berlakukan Darurat Militer, Salahkan Teroris atas Serangan di Kantor Polisi dan Bank
Sidang berikutnya ditetapkan pada 7 Juni, kata Min Min Soe, menambahkan dia juga telah bertemu dengan mantan presiden Win Myint, yang digulingkan dan ditahan bersama dengan Suu Kyi.
Kekacauan politik terjadi di Myanmar ssejak kudeta 1 Februari. Tiada hari tanpa aksi protes dan Gerakan pembangkangan sipil nasional. Tim pemantau local memperkirakan lebih dari 800 orang tewas di tangan militer.
ASEAN memimpin upaya diplomatik untuk mengakhiri pertumpahan darah di Myanmar dan mempromosikan dialog antara junta dan lawan-lawannya.
Awal bulan ini, lebih dari 200 kelompok masyarakat sipil, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata di Myanmar.
Hanya Dewan Keamanan PBB yang dapat menjatuhkan sanksi yang mengikat secara hukum atau embargo senjata, tetapi para diplomat mengatakan Rusia dan China kemungkinan dapat menggunakan hak veto mereka untuk mencegah tindakan seperti itu terhadap Myanmar. (Tribunnews.com/ChannelNewsAsia/Hasanah Samhudi)