TRIBUNNEWS.COM - Kerusuhan terjadi di Afrika Selatan setelah mantan Presiden Jacob Zuma menyerahkan diri kepada pihak berwenang pada Rabu (7/7/2021).
Zuma terancam hukuman 15 bulan penjara karena menentang perintah pengadilan konstitusi untuk memberikan bukti pada penyelidikan yang menyelidiki korupsi tingkat tinggi selama sembilan tahun dia menjabat.
Keputusan untuk memenjarakannya merupakan hasil dari proses hukum yang dilihat sebagai ujian kemampuan Afrika Selatan untuk menegakkan supremasi hukum, termasuk terhadap politisi yang kuat.
Adapun ancaman hukuman yang menjerat presiden yang mengakhiri jabatan pada 2018 itu, menimbulkan kemarahan dari orang-orang pro-Zuma.
Dikutip dari Al Jazeera, kerusuhan berupa kekerasan, penjarahan, dan serangan pembakaran terhadap bisnis terjadi di beberapa wilayah hingga Senin (12/7/2021).
Baca juga: Afrika Selatan Usulkan untuk Melegalkan Wanita Nikahi Banyak Pria, Ditentang Banyak Pihak
Di antaranya di pusat ekonomi Johannesburg di provinsi Gauteng, di provinsi asal Zuma KwaZulu-Natal (KZN) yaitu di Eshowe, sebuah kota dekat rumah Zuma di Nkandla.
Militer Afrika Selatan mengatakan sedang mengerahkan tentara ke kedua provinsi tersebut untuk membantu polisi mengatasi kerusuhan.
"Angkatan Pertahanan Nasional Afrika Selatan telah memulai dengan proses dan prosedur pra-penempatan sejalan dengan permintaan bantuan yang diterima."
"Membantu lembaga penegak hukum yang ditempatkan di provinsi Gauteng dan KwaZulu-Natal masing-masing untuk memadamkan kerusuhan yang telah mencengkeram kedua provinsi di beberapa hari terakhir," kata militer Afrika Selatan dalam sebuah pernyataan, Senin (12/7/2021).
Sesaat sebelum pengumuman militer, pasukan terlihat di jalan-jalan ibukota KZN, Pietermaritzburg, dan asap mengepul dari atap sebuah pusat perbelanjaan besar.
Sebuah toko ritel di Durban dijarah pada Senin pagi sementara di Eshowe, polisi menembakkan peluru karet untuk membubarkan kerumunan setelah sebuah supermarket digeledah.
Di Johannesburg, seorang fotografer kantor berita AFP melihat mayat di satu lokasi.
Penyebab kematiannya tidak segera diketahui.
Polisi mengatakan, enam orang telah tewas dan lebih dari 200 ditangkap dalam protes terkait dan penjarahan sejak pekan lalu.
Kerusuhan tersebut tampaknya bukan hanya dipicu oleh penahanan Zuma, tetapi juga terkait dengan pengangguran dan kesulitan yang ditimbulkan oleh pengetatan untuk pencegahan penularan Covid-19.
Sementara itu, Presiden Cyril Ramaphosa dalam pidato yang disiarkan secara nasional pada hari Senin mengatakan kekerasan mematikan yang mencengkeram dua provinsi terpadat di negara itu belum pernah terjadi sebelumnya di Afrika Selatan pasca-apartheid.
"Beberapa bagian negara ini terguncang dari beberapa hari dan malam kekerasan publik, perusakan properti dan penjarahan yang jarang terlihat sebelumnya dalam sejarah demokrasi kita," kata Ramaphosa.
Baca juga: Perempuan Pengidap HIV Di Afrika Selatan Kembangkan 32 Mutasi Covid-19 Dalam Tubuhnya
Sidang Zuma
Dalam sidang virtual, pengacara Zuma meminta pengadilan untuk membatalkan hukuman penjara kliennya.
Pengacara Zuma mengutip aturan bahwa keputusan dapat dipertimbangkan kembali jika dibuat tanpa kehadiran orang yang bersangkutan atau mengandung kesalahan paten.
Pengacara Zuma mengatakan, kleinnya saat ini tidk dapat hadir di hadapan mahkamah konstitusi karena kesehatannya memburuk.
Untuk itu, pengacara Zuma berharap pengadilan membatalkan keputusan sebelumnya.
Fahmida Miller dari Al Jazeera, melaporkan dari Johannesburg, mengatakan para ahli hukum percaya bahwa peluang pengadilan untuk membatalkan keputusan sebelumnya sangat tipis.
"Pengacara presiden mengatakan dia tidak memilih untuk tidak hadir di hadapan mahkamah konstitusi. Mereka mengatakan itu adalah kesehatannya yang buruk yang menentukan itu. Mereka berharap pengadilan membatalkan keputusan sebelumnya," kata Miller.
Baca juga: Afrika Selatan Buang 2 Juta Dosis Vaksin Johnson & Johnson Gara-gara Ini
Artikel lain seputar Afrika Selatan
(Tribunnews.com/Rica Agustina)