TRIBUNNEWS.COM - Hasil penelitian di Amerika Serikat (AS) ungkapkan vaksin dosis tunggal dari Johnson & Johnson kurang efektif melawan varian Delta dan Lambda.
Studi dari NYU's Grossman School of Medicine diunggah secara online pada Selasa (20/7/2021).
Melansir New York Times, hasil temuan eksperimen menggunakan sampel darah di laboratorium ini dinilai meresahkan dan mungkin tidak menunjukkan kinerja vaksin J&J di lapangan.
Tetapi, para peneliti menyajikan bukti bahwa 13 juta orang yang divaksinasi dengan J&J perlu menerima dosis kedua.
"Idealnya salah satu vaksin mRNA yang dibuat oleh Pfizer-BioNTech atau Moderna," kata para penulis.
Baca juga: Diduga Terlibat Epidemi Opioid, Johnson & Johnson dan 3 Distributor Setuju Bayar Tuntutan 26 Miliar
Baca juga: Malaysia Izinkan Penggunaan Darurat Vaksin Sinopharm dan Johnson & Johnson
Kesimpulan tersebut bertentangan dengan penelitian yang lebih kecil yang diterbitkan oleh Johnson & Johnson awal bulan ini.
Pada studi sebelumnya, hasilnya menunjukkan bahwa dosis tunggal vaksin efektif terhadap varian bahkan delapan bulan setelah inokulasi.
Baca juga: Studi: 2 Dosis Vaksin Pfizer dan AstraZeneca Dapat Bekerja dengan Baik Lawan Varian Delta
Baca juga: Twenty Something dan Nona Karya Pixar Animation Studios Bakal Tayang di Indonesia, Catat Tanggalnya
Studi baru ini belum ditinjau sejawat atau diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
Namun, hasilnya konsisten dengan pengamatan bahwa dosis tunggal vaksin AstraZeneca – yang memiliki arsitektur yang mirip dengan Johnson & Johnson – hanya menunjukkan sekitar 33 persen kemanjuran terhadap penyakit simtomatik yang disebabkan oleh varian Delta.
"Pesan yang ingin kami sampaikan bukanlah bahwa orang tidak boleh mendapatkan J.&J. vaksin," ungkap Nathaniel Landau, ahli virologi di NYU's Grossman School of Medicine, yang memimpin penelitian.
"Kami berharap bahwa di masa depan, (vaksin) akan ditingkatkan dengan dosis lain J&J atau dorongan dengan Pfizer atau Moderna," imbuhnya.
Varian Delta adalah versi virus corona yang paling menular.
"Varian Delta telah menyumbang 83 persen infeksi di Amerika Serikat," kata Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Dr. Rochelle Walensky, pada sidang Senat pada Selasa (20/7/2021).
Berita lain terkait Virus Corona
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)