Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga meminta maaf kepada masyarakat karena terlambat satu menit saat menghadiri upacara peringatan jatuhnya bom atom di Nagasaki, Senin (9/8/2021) kemarin.
Sebelumnya saat para menteri terlambat datang mengikuti rapat, mereka ditegur dengan keras. Bahkan anggota parlemen mogok rapat gara-gara ada menteri yang terlamba satang.
Hal yang sama, mantan menteri Jepang untuk urusan olimpiade dan paralimpik, Yoshitaka Sakurada, meminta maaf secara terbuka karena Kamis (21/2/2019) terlambat tiga menit saat menghadiri rapat kerja dengan parlemen.
Sehingga dianggap menunjukkan sikap tidak hormat serta menyebabkan rapat komite anggaran tertunda lima jam akibat protes.
Kemudian Junko Mihara, Wakil Menteri Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan Jepang terlambat 30 menit menghadiri rapat parlemen Jepang 12 Mei 2021.
Akibatnya RUU medis yang seharusnya disahkan jadi tertunda dan Junko Mihara dianggap melakukan sabotase oleh oposisi parlemen Jepang.
Kemudian tanggal 30 Juli 2021 Menteri Olimpiade Tamayo Marukawa sempat ditegur Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato karena terlambat datang 5 menit saat rapat kabinet Jumat (30/7/2021).
Alasan Menteri Marukawa mengapa terlambat hadir di rapat kabinet karena dua pintu tol ditutup untuk penggunaan jalur khusus kendaraan Olimpiade, sehingga perjalanan harus memutar ke tempat lain.
"Saya dapat teguran dari Sekab dan akan jadikan pelajaran berharga dan tak akan terulang lagi di masa depan," papar Marukawa kepada pers, 30 Juli 2021 lalu.
Budaya tepat waktu memang sudah sejak ratusan tahun lalu dilakukan di Jepang, sehingga mendarah daging bagi semua warga Jepang.
Pada 1920-an, ketepatan waktu diabadikan dalam propaganda negara.
Poster gaya hidup ditempel di berbagai sudut dengan tampilan mencolok, menampilkan panduan bagi wanita untuk membuat gaya rambut standar dalam lima menit hingga 55 menit untuk gaya rambut acara formal.
"Sejak itu, ketepatan waktu dikaitkan dengan produktivitas di perusahaan dan organisasi," kata Makoto Watanabe, profesor komunikasi dan media di Universitas Bunkyo Hokkaido.
"Jika pekerja terlambat, perusahaan dan kelompok akan dirugikan," ujarnya.
"Maksudnya, jika kamu tidak tepat waktu, kamu tidak bisa menyelesaikan semua hal yang perlu kamu lakukan."
"Penting bagi pekerja perusahaan untuk menampilkan diri mereka sebagai orang yang disiplin dan tepat waktu," kata Mieko Nakabayashi, seorang profesor ilmu sosial di Universitas Waseda dan mantan anggota parlemen di Partai Demokrat Jepang.
"Jika anda tidak bisa melakukan itu, maka anda akan segera mendapatkan reputasi buruk di dalam perusahaan," katanya.
Bagaimana awal budaya tepat waktu itu muncul di Jepang?
Sekitar tahun 1871-1873, para petinggi Pemerintahan Jepang memutuskan melakukan kunjungan ke negara-negara barat seperti Amerika Serikat, dan 11 negara di Eropa.
Dipimpin oleh negarawan Iwakura Tomomi, rombongan itu mengunjungi pabrik, sekolah, pelabuhan, kantor pemerintahan, dan bertemu para pemimpin negara.
Baca juga: Olimpiade Tokyo Selesai, Polisi Jepang Kembali ke Kota Masing-masing
Delegasi Jepang tersebut tercengang oleh kedisiplinan masyarakat barat.
Kesimpulan dari misi Iwakura ini adalah Jepang masih sangat tertinggal dalam industri dan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia).
Oleh sebab itu Jepang harus mencontoh negara barat jika ingin maju.
Arahan dari Menteri Pendidikan Jepang mengharuskan siswa datang 10 menit sebelum pelajaran dimulai setiap harinya, dan jika tidak mereka akan menerima hukuman atas keterlambatan dari guru mereka.
Hal tersebut membantu mengajarkan ketepatan waktu pada generasi baru.
Pada November 1919, Kementerian Pendidikan Jepang kemudian mengkampanyekan reformasi pola hidup dengan menggelar pameran Life Improvement di Museum Pendidikan Tokyo.
Pameran itu menampilkan poster dan foto-foto mengenai pola hidup yang efisien mencakup segi sandang, pangan, dan papan.
Pameran tersebut mendapat sambutan luar biasa dari warga Tokyo.
Akhirnya dibentuklah Better Life Union, perkumpulan hidup yang lebih baik dengan agenda antara lain tepat waktu, tata krama, buang kebiasaan gengsi, hilangkan tingkah laku mengganggu kesehatan dan kebersihan umum, serta menabung.
Pada 1920-an, ketepatan waktu dilembagakan dalam berbagai propaganda negara.
Langkah nyata lainnya ditempuh dengan membentuk opini publik mengenai pentingnya reformasi pola hidup.
Surat kabar, buku, majalah-majalah didorong untuk membangun kesadaran publik soal kedisplinan.
Berbagai poster soal ketepatan dan penghematan waktu disebar. Misalnya bagaimana cara perempuan menata rambut dalam lima menit jika tak ada acara khusus.
Sejak 1956, pemerintah dan tokoh masyarakat memulai kampanye nasional untuk meningkatkan moral publik yaitu mengajak rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan standar masyarakat beradab.
Berkat ikhtiar konsisten ini, masyarakat Jepang memetik hasilnya. Mereka sekarang menjadi rujukan dalam ketepatan waktu.
Keberhasilan Jepang dalam mereformasi pola hidup seperti tepat waktu karena peran pemerintah dan kelas menengah yang bersama-sama mengkampanyekan hal tersebut.
Imbauan-imbauan tentang kedisiplinan disebar ke seluruh penjuru negara hingga ke pelosok-pelosok, misalnya, poster-poster yang menyindir kebiasaan telat (terlambat) sebagai hal yang memalukan.
Hal tersebut dilakukan secara konsisten.
Baca juga: Mengapa Miraitowa, Maskot Olimpiade Tokyo Jepang Tidak Muncul di Acara Pembukaan dan Penutupan?
Jadi lama kelamaan orang makin sadar dengan konsekuensi ketepatan waktu. Namun, tidak sekadar mengimbau, tetapi juga ada penghargaan yang diberikan.
Sudah tertanam sejak masa sekolah, hal tersebut terbawa hingga dunia kerja. Perusahaan atau instansi pemerintah akan memberikan penghargaan bagi pegawainya yang kerap tepat waktu.
Sementara itu beasiswa (ke Jepang) dan upaya belajar bahasa Jepang yang lebih efektif melalui aplikasi zoom terus dilakukan bagi warga Indonesia secara aktif dengan target belajar ke sekolah di Jepang. Info lengkap silakan email: info@sekolah.biz dengan subject: Belajar bahasa Jepang.