TRIBUNNEWS.COM - Taliban tengah mempersiapkan diri untuk mengumumkan pemerintah Afghanistan di bawah rezim baru.
Sebelumnya, dua sumber Taliban mengatakan pengumuman pemerintahan baru akan disampaikan pada Jumat (3/9/2021) selepas salat Jumat.
Namun, hingga kini pengumuman belum kunjung dilakukan.
Dikutip dari AFP, seorang pejabat senior Taliban mengatakan bahwa wanita tidak mungkin masuk dalam susunan pemerintahan Afghanistan yang baru.
Di kota barat Herat, sekitar 50 wanita turun ke jalan pada Kamis (2/9/2021), dalam rangka protes untuk hak bekerja dan kurangnya partisipasi perempuan dalam pemerintahan baru.
Baca juga: Tolak Taliban dan Lakukan Perlawanan, Pejuang Perlawanan Panjshir Dipimpin Putra Tokoh Afghanistan
Baca juga: 14 Juta Rakyat Afghanistan Terancam Kelaparan Setelah Taliban Berkuasa
"Adalah hak kami untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan keamanan," teriak para demonstran.
"Kami tidak takut, kami bersatu," tambah mereka.
Penyelenggara protes, Basira Taheri, mengatakan pada AFP ia ingin Taliban memasukkan wanita ke dalam kabinet baru.
"Kami ingin Taliban mengadakan konsultasi dengan kami (wanita)" kata Taheri.
"Kami tidak melihat ada wanita dalam pertemuan-pertemuan mereka," imbuhnya.
Sebelumnya, menjelang penarikan Amerika Serikat (AS) terakhir, Minggu (29/8/2021), juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengungkapkan ada tidaknya wanita dalam kabinet baru Afghanistan tergantung keputusan kepemimpinan.
Mengutip Reuters, ia tidak bisa mengantisipasi apapun keputusan para petinggi.
Disisi lain, Mujahid mengungkapkan para pejabat telah ditunjuk untuk menjalankan lembaga-lembaga utama, termasuk kementerian kesehatan dan pendidikan masyarakat, serta bank sentral.
Sementara itu, terdapat bocoran prediksi siapa saja yang akan mengisi kabinet baru Afghanistan di bawah rezim baru Taliban.
Dalam bocoran itu, ada 24 nama anggota Rahbari Syura (dewan kepemimpinan saat ini) yang disebut-sebut akan masuk dalam pemerintahan baru.
Baca prediksi kabinet Taliban di sini.
Baca juga: Afghanistan: Qatar dan Turki memberi jalan bagi Taliban untuk unjuk gigi di panggung dunia
Baca juga: Kemlu: RI Perlu Pahami Hubungan Taliban dengan ISIS dan Al-Qaeda Sebelum Ambil Sikap
Siapa yang akan Memimpin?
Taliban mengonfirmasi pemimpin tertinggi kelompok itu, Hibatullah Akhundzada, akan menjadi otoritas tertinggi Afghanistan, Kamis (2/9/2021).
Sementara itu, akan ada presiden atau perdana menteri yang akan menjalankan Afghanistan di bawah otoritasnya.
Dikutip dari Al Arabiya, Taliban mengatakan diskusi tentang pembentukan pemerintahan baru telah selesai dan mereka akan segera membuat pengumuman.
"Konsultasi tentang pemerintahan baru hampir selesai dan diskusi tentang kabinet juga telah diadakan."
"Pemerintah (berdasarkan hukum) Islam akan kami umumkan," kata anggota komisi budaya Taliban, Anamullah Samangani.
Ia menambahkan, "Tidak ada keraguan tentang kehadiran Panglima Umat (Akhundzada) di pemerintahan."
"Ia akan menjadi pemimpin pemerintahan dan seharusnya tidak ada pertanyaan mengenai hal ini."
Disisi lain, Satu diantara pendiri Taliban, Mullah Baradar, akan memimpin pemerintahan Afghanistan yang baru.
Hal ini disampaikan sumber Taliban dengan syarat anonim pada Jumat (3/9/2021).
Baca juga: Indonesia akan Gunakan Mesin Diplomasi untuk Melihat Sikap Negara Lain terhadap Taliban
Baca juga: Jusuf Kalla Sebut Pemerintahan Taliban Harus Berubah Agar Tak Hancur Sendiri
Dilansir India Today yang mengutip Reuters, Baradar yang mengepalai kantor politik Taliban akan bergabung dengan Mullah Mohammad Yaqoob, putra mendiang pendiri kelompok garis keras itu, dan Sher Mohammad Abbas Stanekzai, dalam posisi senior di pemerintahan, kata tiga sumber.
"Semua pemimpin puncak telah tiba di Kabul, di mana persiapan sedang dalam tahap akhir untuk mengumumkan pemerintahan baru," kata seorang pejabat Taliban.
Taliban Izinkan Wanita Lanjutkan Pendidikan
Taliban akan mengizinkan wanita Afghanistan untuk menempuh studi di perguruan tinggi.
Namun, pihaknya melarang keras kelas campuran.
Hal ini disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi Taliban, Abdul Haqi Haqqani, Minggu (29/8/2021).
Taliban sendiri sebelumnya sudah berjanji akan memerintah dengan sistem berbeda dibandingkan 1990-an silam, di mana anak perempuan dan wanita dewasa dilarang mengenyam pendidikan.
"Orang-orang Afghanistan akan melanjutkan pendidikan tinggi mereka berdasarkan hukum Syariah secara aman, tanpa berada di lingkungan campuran pria dan wanita," katanya pada pertemuan dengan para tetua, dikutip dari AFP.
Ia mengatakan Taliban ingin "menciptakan kurikulum yang masuk akal dan Islami yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, nasional dan sejarah kami, serta disisi lain mampu bersaing dengan negara lain."
Anak perempuan dan laki-laki juga akan dipisahkan di sekolah dasar dan menengah.
Baca juga: Siapa Pejuang Perlawanan Panjshir? Dipimpin Ahmad Massoud, Menolak Menyerah Meski Dikepung Taliban
Baca juga: Diburu Taliban hingga Disiksa, Polisi Wanita Afghanistan Gulafroz: Saya Tak Bisa Berbuat Apa-apa
Tak hanya itu, Haqqani mengungkapkan Taliban melarang pria untuk mengajar siswa perempuan.
"Laki-laki tidak akan diizinkan untuk mengajar anak perempuan," ujarnya, dilansir India Today.
Haqqani diketahui mengkritik sistem pendidikan saat ini, dengan mengatakan sistem di Afghanistan gagal mematuhi prinsip-prinsip Islam.
"Setiap hal yang bertentangan dengan Islam dalam sistem pendidikan akan dihapus," tegasnya.
Kebijakan Taliban ini menuai kritik dari wartawan Afghanistan, Bashir Ahmad Gwakh.
Gwakh menilai kebijakan tersebut telah merampas hak wanita Afghanistan karena universitas tidak mampu menyediakan kelas berbeda atau sumber manusia yang cukup.
Diketahui, Taliban telah berjanji untuk menghormati kemajuan yang dicapai dalam hak-hak perempuan, namun hanya menurut interpretasi ketat mereka terhadap hukum Islam.
Kendati demikian, banyak pihak skeptis dan mempertanyakan apakah kelompok itu akan menepati janjinya.
Sementara itu, seorang dosen di universitas kota mengatakan Kementerian Pendidikan Tinggi Taliban hanya berkonsultasi dengan guru dan siswa laki-laki.
Ia menyebut itu menunjukkan "pencegahan sistematis partisipasi perempuan dalam pengambil keputusan" dan "kesenjangan antara komitmen dan tindakan Taliban."
Baca artikel terkait konflk di Afghanistan
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)