Macsali menyampaikan bahwa tidak ada jawaban iilmiah yang bisa menjadi landasan mengapa ini terjadi.
Sebaliknya, masa krisis cenderung disertai dengan penurunan angka kelahiran.
"Menunda memiliki anak di masa krisis adalah hal yang biasa, jadi ini menyimpang dari polanya," jelas Macsali.
Pernyataannya itu merujuk pada laporan sebelumnya dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi mempengaruhi angka kelahiran secara negatif.
Demografer Svenn-Erik Mamelund dari Oslo Metropolitan University menunjukkan kepada portal penelitian Forskning bahwa pada 1918, saat flu Spanyol yang mematikan itu melanda Norwegia, angka kelahiran pun turun sebesar 6,3 persen.
"Namun, ini tampaknya tidak mempengaruhi angka di Norwegia. Angka awal untuk seluruh dunia menunjukkan bahwa Denmark, Belanda, Hongaria dan Kroasia juga telah meningkatkan angka kelahiran dari musim dingin dan musim semi 2021. Namun, untuk sebagian besar negara Eropa lainnya, tidak ada perubahan atau penurunan," tegas Macsali.
Sebelum mengalami ledakan kelahiran yang tidak terduga saat Covid-19, tingkat kesuburan Norwegia pun telah turun setiap tahun sejak 2009 silam, memecahkan beberapa rekor tahunan berturut-turut dan mencapai titik terendah sepanjang masa dengan hanya 1,48 anak per perempuan pada 2020, meskipun ada rekor jumlah aborsi yang rendah.
Di tengah tingkat kesuburan yang menurun, seperti rekan-rekan Nordiknya, Norwegia semakin kuat untuk menarik perhatian imigran dari negara-negara dekat dan jauh, sebagian untuk meringankan kesengsaraan demografisnya dan untuk memuaskan dahaga pasar akan tenaga kerja.
Saat ini, jumlah imigran mencapai 18,2 persen dari 5,3 juta penduduk Norwegia.