TRIBUNNEWS.COM - Rezim Korea Utara mempromosikan manfaat mengonsumsi daging angsa hitam, kelinci, hingga ikan lele untuk menanggulangi krisis pangan.
Diwartakan SCMP, surat kabar Korea Utara, Rodong Sinmun dan DPRK Today, baru-baru ini melaporkan bahwa daging angsa hitam merupakan sumber makanan yang berharga.
Media ini menyoroti daging dari burung air itu sebagai sumber protein dan memiliki kandungan anti-karsinogenik.
"Angsa hitam langka, burung hias. Dagingnya enak dan berkhasiat obat," lapor Rodong Sinmun pekan lalu.
"Fondasi telah diletakkan untuk membiakkan mereka (angsa) dalam skala industri agar dapat berkontribusi secara aktif untuk meningkatkan standar hidup masyarakat," tambahnya.
Baca juga: Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in Minta Paus Fransiskus Kunjungi Korea Utara
Baca juga: Terancam Kelaparan, Korea Utara Minta Penduduk Mengurangi Makan Sampai Tahun 2025
Sebelumnya, satwa dengan nama ilmiah Cygnus atratus ini disebutkan media Korea Utara sebagai subjek penelitian akademis.
"Daging mereka mengandung imunoglobulin, asam linoleat, dan bahan anti-karsinogenik yang hampir tidak ditemukan pada jenis daging lain," kata DPRK Today mengutip sumber peternak angsa hitam di timur laut Jongpyong.
Bing Ji-chang, sekretaris jenderal Perhimpunan Ornitologi Korea Selatan menilai tindakan mengonsumsi angsa hitam ini baru pertama kali terjadi di Korea Utara.
"Saya belum pernah mendengar angsa hitam dibiakkan untuk konsumsi manusia di seluruh dunia," katanya kepada This Week in Asia.
"Tapi saya rasa tidak akan ada masalah dengan pengembangbiakan dan konsumsi dagingnya karena nilai gizinya harus sama dengan burung air lainnya," tambahnya.
Angsa hitam termasuk satwa yang langka hingga sudah lama digunakan sebagai simbol status.
Satwa ini juga menjadi lambang resmi negara bagian Australia Barat.
Dalam mitologi Eropa, angsa hitam dianggap kiriman dari iblis layaknya satwa berwarna hitam lainnya termasuk kucing.
Himbauan untuk memulai konsumsi angsa hitam adalah salah satu cara tak lazim yang dilakukan Korea Utara untuk menanggulangi krisis pangan.
Pemimpin Tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un baru-baru ini mengakui krisis pangan yang terjadi dan meminta maaf kepada masyarakat.
Belakangan ini, Kim juga memerintahkan agar semua pria sehat menanam biji-bijian yang masih tersedia.
Menurut laporan agen mata-mata Korea Selatan pada pekan lalu, Kim mengaku kekurangan pangan di negaranya membuatnya merasa "berjalan di sungai yang sedikit beku".
Pada Juli tahun lalu, tentara Korea Utara dan keluarga mereka diperintahkan untuk memelihara kelinci, lapor DailyNK.
Ekonomi Korea Utara runtuh akibat penutupan perbatasan dengan China sejak pandemi Covid-19 melanda.
Sanksi PBB atas program nuklir dan rudal balistiknya juga menambah kesengsaraan di negara komunis ini.
Kim Jong Un Perintahkan Warga Mengurangi Makan
Korea Utara mengimbau penduduknya untuk mengurangi makan setidaknya sampai tahun 2025, menurut laporan.
Diwartakan Fox News dari laporan Radio Free Asia (RFA), kekurangan makanan di negara komunis ini terjadi karena penutupan perbatasan dengan China selama pandemi Covid-19.
Korea Utara sudah satu tahun ini menutup perbatasannya dari China terhitung sejak 2020 lalu.
Sayangnya, kebijakan untuk menahan penularan Covid-19 tersebut justru melemahkan ekonomi Korea Utara.
Baca juga: Keseriusan Pemerintah Korea Mengembangkan Wisata Ramah Muslim
Baca juga: Ancaman Varian Baru Covid-19 AY.4.2, Pemerintah Waspadai Pelaku Perjalanan dari Jepang dan Korea
Menurut laporan, harga pangan melambung tinggi hingga terjadi kematian akibat kelaparan.
"Situasi pangan saat ini sudah jelas darurat, dan orang-orang berjuang dengan kekurangan."
"Ketika pihak berwenang memberi tahu bahwa masyarakat perlu menghemat dan mengonsumsi lebih sedikit makanan hingga tahun 2025, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain merasa sangat putus asa," kata seorang penduduk kota perbatasan Sinuiju kepada Layanan RFA Korea pada 21 Oktober.
Lebih lanjut, sumber anonim ini mengatakan kepada RFA, pengumuman untuk 'mengencangkan ikat pinggang' alias mengurangi makan menimbulkan ketidakpercayaan dan kebencian kepada rezim.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)