TRIBUNNEWS.COM - Hingga kini Rusia belum menghentikan operasi militernya di Ukraina. Peperangan masih berkecamuk.
Jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi ke negara tetangga.
Namun, Kementerian Pertahanan Rusia sempat mengumumkan gencatan senjata pada Sabtu (5/3/2022).
Gencatan senjata dilakukan untuk memungkinkan evakuasi penduduk dari dua kota Ukraina, yakni Mariupol dan Volnovakha, ke tempat lebih aman.
Namun, Ukraina mengklaim Rusia melanggar perjanjian gencatan senjata. Pada video yang dirilis, terdengar suara tembakan artileri berat Volnovakha.
"Rusia telah melanggar perjanjian (gencatan senjata), gagal memenuhi tugasnya dan menembaki kota Volnovaksha," kata Wakil Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereshchuk seperti diberitakan CNN International.
Yang jadi pertanyaan, apa yang membuat Rusia menghentikan operasi militernya di Ukraina?
Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva mengatakan serangan militer negaranya ke Ukraina hanya akan berakhir jika target Moskow tercapai.
Dalam wawancara virtual dengan jurnalis KOMPAS TV Frisca Clarissa, Sabtu (5/3/2022), Dubes Vorobieva mengatakan pihaknya berharap operasi militer ke Ukraina segera berakhir.
“Ini akan mungkin diakhiri jika target kami tercapai, baik dengan cara diplomatik, berunding dengan pihak Ukraina, atau melalui operasi militer,” ungkapnya.
Baca juga: Inggris Klaim Rusia Targetkan Area Berpenduduk, Diduga untuk Runtuhkan Moral Ukraina
“Target kami sangat jelas, demiliterisasi dan ‘denazifikasi’ Ukraina sehingga Ukraina menjadi negara yang netral,” imbuhnya.
Dubes Rusia menuduh pemerintah Ukraina mendukung ideologi Nazi yang menurutnya tersebar luas di Ukraina.
Selain itu, dia menyebut akar masalah dari krisis ini adalah sabotase terhadap perjanjian Minsk yang dilakukan Kiev selama bertahun-tahun.
Rusia, kata Vorobieva, telah berusaha menempuh solusi damai dalam delapan tahun terakhir.
“Kami memprakarsai perjanjian Minsk yang memberikan cara yang jelas untuk menyelesaikan konflik di Ukraina,” ungkapnya.
Baca juga: Anak 11 Tahun Sendiri Lintasi Perbatasan Slovakia, Orangtuanya di Ukraina, Rawat Nenek yang Difabel
Dilansir dari Al Jazeera, pada September 2014, Ukraina dan separatis yang didukung Rusia menyetujui sebuah kesepakatan gencatan senjata yang berisi 12 poin.
Kesepakatan ini disebut perjanjian Minsk I. Sayangnya, perjanjian ini gagal setelah kedua belah pihak melakukan pelanggaran.
Maksud Putin denazifikasi Ukraina
Ada dua hal yang hendak dicapai Rusia dalam operasi militer di Ukraina, yakni demiliterisasi dan denazifikasi.
Demiliterisasi jelas. Bahwa Rusia ingin melucuti militer Ukraina.
Namun, apa yang dimaksud Presiden Rusia Vladimir Putin tentang denazifikasi?
Saat mengumumkan dimulainya operasi militer khusus untuk melindungi Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Lugansk (LPR) pada 24 Februari lalu, Presiden Putin menggambarkan tujuannya sebagai 'demiliterisasi dan denazifikasi' Ukraina.
Juru bicaranya kemudian menjelaskan bahwa 'denazifikasi' berarti bahwa Rusia berencana untuk membebaskan Ukraina dari neo-Nazi, pendukung mereka, dan ideologi mereka.
Dikutip dari laman Sputnik News, Minggu (27/2/2022), Rusia telah berulang kali memperingatkan negara-negara asing tentang neo-Nazi yang mengambil alih Ukraina setelah kudeta yang didukung Barat pada 2014 lalu.
Baca juga: Kemhan Rusia Klaim Pesawat Pembom Su-34 Fighter Hancurkan Fasilitas Militer Nasionalis Ukraina
Namun, negara-negara Barat diduga memilih untuk mengabaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh rezim Ukraina.
Lalu apa saja kejahatan yang dimaksud Putin?
Membakar rumah serikat pekerja, dengan orang-orang yang masih ada di dalamnya
Sebagai nasionalis dan neo-Nazi, pemerintah Ukraina secara ilegal merebut kekuasaan di seluruh penjuru negara itu.
Begitu pula dengan bentrokan antara neo-Nazi dan pengunjuk rasa anti-Maidan yang terjadi di seluruh negeri.
Namun apa yang terjadi di Odessa pada 2 Mei 2014 akan dikenang sebagai salah satu catatan tergelap dalam sejarah Ukraina.
Setelah pertempuran jalanan dengan neo-Nazi, para pengunjuk rasa anti-Maidan membarikade diri mereka di sebuah rumah serikat pekerja lokal.
Sedangkan lawan mereka, yang didukung oleh otoritas baru Ukraina, mengepung gedung dan membakarnya menggunakan bom molotov.
Saat kobaran api berkobar di lantai dua dan tiga gedung itu, beberapa ratus orang yang terperangkap dalam bangunan tersebut berusaha mati-matian untuk melarikan diri.
10 di antaranya jatuh hingga tewas, 32 lainnya meninggal karena luka bakar parah dan sesak napas akibat asap, sementara itu 250 lainnya berhasil lolos dari jebakan maut dengan menderita berbagai luka saat petugas pemadam kebakaran tiba di tempat kejadian satu jam setelah kebakaran terjadi.
Kejahatan perang batalion relawan Nasionalis dibongkar, namun tidak dituntut
Selain mengerahkan pasukan reguler untuk menembaki kota-kota DPR dan LPR, kepemimpinan Ukraina yang baru ini diklaim menarik beberapa pihak yang disebut sebagai 'batalion sukarelawan'.
Mereka merupakan kelompok orang-orang bermasalah, seringkali kaum nasionalis dan mantan narapidana, lalu didanai serta dilengkapi oleh oligarki Ukraina dan pengusaha dengan koneksi ke pemerintahan baru.
Anggota mereka sering terlibat dalam berbagai kejahatan perang, mulai dari penjarahan hingga pembunuhan warga sipil dan pemerkosaan.
Satu batalion tersebut dijuluki 'Tornado' dan dibubarkan pada Desember 2014 oleh Ukraina, menyusul banyaknya laporan kejahatan.
Namun mirisnya, anggotanya tidak pernah diadili, bahkan banyak diantara mereka hanya pindah ke batalyon lain.
Kejahatan dari batalion sukarelawan terkenal lainnya 'Aidar' juga telah diselidiki, didokumentasikan, dan diungkap oleh organisasi nirlaba Amnesty International.
Kendati demikian, perbuatan mereka yang mengerikan itu tetap tidak mendapatkan hukuman.
Salah satu dari banyak kejahatan diungkap oleh milisi DPR di dekat tambang 'Kommunar', di mana mereka menemukan mayat 4 wanita dan beberapa laki-laki, semuanya warga sipil.
Mereka diikat, disiksa, dan dieksekusi dengan cara ditembak di kepala atau dipenggal.
Salah satu dari 4 wanita itu diyakini telah diperkosa oleh para pejuang batalion.
Penganiayaan ilegal, penahanan, dan pembunuhan anggota oposisi dan wartawan
Kaum nasionalis dan neo-Nazi yang duduk di pemerintahan Ukraina juga memiliki 'sejarah yang kaya' dalam hal melakukan kejahatan dan pelanggaran HAM.
Banyak dari mereka secara cermat dikumpulkan dalam Buku Putih setebal 80 halaman yang disusun oleh Kementerian Luar Negeri Rusia.
Pada pertengahan Juni 2014, kurang dari 5 bulan setelah merebut kekuasaan, otoritas Ukraina yang baru mulai melanggar hak-hak rakyat yang mengekspresikan pendapat dan kebebasan pers.
Tidak hanya itu, otoritas ini juga melakukan pencarian dan penahanan terhadap para pengunjuk rasa serta jurnalis, hingga memblokir wartawan media asing agar tidak memasuki negara itu.
Pemerintah Ukraina yang baru bahkan tidak segan-segan mengancam dan menculik lawan politik, politisi, termasuk anggota parlemen yang menentang perang melawan DPR dan LPR, serta mereka yang keberatan dengan kudeta.
Beberapa politisi oposisi dan jurnalis independen juga dibunuh, diduga oleh nasionalis dan neo-Nazi yang sama, dengan banyak kasus yang belum terpecahkan hingga hari ini.
Pembunuhan Oles Buzyna, seorang jurnalis Ukraina yang dikenal karena pandangannya yang pro-Rusia, adalah salah satu kasus yang paling menonjol.
Buzyna ditembak mati di luar rumahnya oleh orang tak dikenal di Kiev hanya sehari setelah pembunuhan mantan anggota parlemen Oleg Kalashnikov di rumahnya.
Kasus-kasus itu tidak pernah diselesaikan, namun mereka diyakini terkait dengan keterlibatan para korban dengan gerakan anti-Maidan.
Diskriminasi terhadap apapun yang berhubungan dengan Rusia
Selain membiarkan pelaku kejahatan perang tidak dihukum dan tetap memburu lawan politik mereka, kepemimpinan Ukraina dianggap sering mendorong diskriminasi di seluruh negeri terhadap apapun yang berhubungan dengan Rusia atau bahasa Rusia.
Kebijakan ini terungkap dalam berbagai bentuk, mulai dari seruan yang relatif tidak berbahaya untuk menahan diri dari membeli barang-barang Rusia.
Kemudian pemecatan akademisi Rusia yang mengajar sastra Rusia, penahanan pelancong berbahasa Rusia tanpa dasar hukum, larangan resmi atas produk tertentu Rusia, menggambar swastika pada peringatan Perang Dunia Kedua dan korban holocaust, serta mengizinkan pawai neo-Nazi yang menampilkan seruan untuk 'membunuh orang Rusia' yang tinggal di Ukraina.
Daftar ini berlanjut dengan lebih banyak kejahatan yang dilakukan oleh para pemimpin nasionalis Ukraina selama 8 tahun terakhir, namun tidak tercermin dalam Buku Putih.
Selama bertahun-tahun, Rusia telah meminta negara-negara Barat untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM, pembunuhan ilegal, dan kejahatan perang yang dilakukan oleh otoritas Ukraina yang berkuasa setelah kudeta 2014.
Rusia bahkan menunjukkan bahwa banyak dari kasus-kasus itu dilakukan oleh neo-Nazi terhadap Rusia atau orang-orang berbahasa Rusia.
>