Kesenjangan Retorika Pemerintah Cina dengan Tindakan Ilegal Aktor Mereka di Perairan Internasional

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Analis riset CNA Ryan Loomis dalam Online Master Class Jakarta Defense Studies bertajuk Meneropong Manuver Cina di Laut Natuna Utara secara daring pada Rabu (9/3/2022).
Analis riset CNA Ryan Loomis dalam Online Master Class Jakarta Defense Studies bertajuk Meneropong Manuver Cina di Laut Natuna Utara secara daring pada Rabu (9/3/2022).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penelitian yang dilakukan oleh analis riset CNA Ryan Loomis dan ilmuwan riset CNA Heidi Holz mengungkapkan adanya kesenjangan antara retorika pemerintah Cina dengan tindakan ilegal yang dilakukan oleh aktor-aktor Cina di perairan internasional.

Riset tersebut juga menampilkan bagaimana kebijakan umum pemerintah Cina terhadap kapal-kapal milik perseorangan maupun perusahaan Cina yang seharusnya ditaati di wilayah maritim internasional.

Berdasarkan kebijakan pemerintah Cina, aktor-aktor Cina harus tunduk pada UNCLOS yang juga telah ditandatangani Cina.

Berdasarkan UNCLOS pemerintah Cina bertanggungjawab untuk perilaku aktor-aktor Cina di luar negeri. 

Kemudian berdasarkan pasal 94, pemerintah suatu negara termasuk Cina bertanggung jawab untuk memastikan kapal-kapal berbendera Cina tunduk pada hukum laut internasional di mana mereka berada. 

Pemerintah Cina juga bertanggung jawab terhadap akuntabilitas proses hukum terhadap para aktor Cina yang melanggar hukum tersebut. 

Pemerintah Cina juga mewajibkan kapal-kapal berbendera Cina untuk mematuhi hukum laut lokal di mana mereka beroperasi. 

Pemerintah Cina juga tegas melawan IUU fishing di area penangkapan ikan mereka. 

Terakhir, menurut pernyataan resminya pemerintah Cina berkomitmen untuk menjaga dan melindungi lingkungan kelautan dan juga meminta para aktor Cina untuk melakukan hal yang sama.

Riset tersebut dilakukan dengan mengambil 15 studi kasus yang berfokus pada dugaan perilaku buruk oleh aktor-aktor Cina sejak 2018 sampai 2021 di perairan sekitar Asia Tenggara, negara-negara di Kepulauan Pasifik, dan pesisir Samudera Atlantik Afrika.

Baca juga: Imbas Perang Rusia, India dan Cina Berbondong-bondong Evakuasi Warganya

Ada tiga hal yang dilihat dari setiap kasus tersebut.

Pertama, insiden yang diduga sebagai aktifitas ilegal yang dilakukan aktor Cina berdasarkan pemberitaan media massa dari negara yang terdampak, laporan-laporan LSM, data dari platform Maritime Domain Awarness, dan basis data pelacakan kapal.

Kedua, apa yang disampaikan oleh pemerintah Cina tentang insiden atau aktifitas tersebut berdasarkan pernyataan resmi pemerintah Cina misalnya konferensi pers yang digelar oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina juga laporan resminya. 

Selain itu, pemberitaan media Cina terkait aktifitas tersebut khususnya yang ditujukan pada masyarakat di negara-negara yang terdampak juga diamati.

Ketiga, hukum-hukum dan peraturan laut internasional untuk memahami mana yang dilanggar oleh tindakan aktor-aktor Cina tersebut. 

Ryan mengungkapkan dari 15 kasus yang kami teliti, para aktor Cina diduga terlibat dalam 6 jenis tindakan ilegal.

Pertama, IUU Fishing yang mengancam ekosistem samudera, ketahanan perikanan.

Kedua, dengan sengaja menabrak kapal asing, merusak kapal mereka, dan membahayakan awak kapal.

Ketiga, mempraktikan kerja paksa di kapal ikan dan terlibat penyelundupan orang.

Keempat, mencemari limbah ke laut baik dari kapal maupun dari sumber yang berada di daratan sehingga berpotensi mencemari lingkungan laut dan membahayakan penduduk lokal.

Kelima, menggelapkan pelacakan elektronik atau alat pengawas dan ini membuat kapal-kapal beroperasi  secara terselubung (dark) sehingga kapal-kapal tersebut bisa melakukan aktifitas ilegal tanpa terpantau dan terlacak.

Keenam, masuk dan beroperasi secara ilegal di wilayah yurisdiksi perairan negara lain tanpa izin.

Hal tersebut diungkapkannya dalam Online Master Class Jakarta Defence Studies bertajuk "Meneropong Manuver Cina di Laut Natuna Utara" secara daring pada Rabu (9/3/2022).

"Gambaran tersebut tidak dimaksudkan untuk menunjukkan seluruh perilaku buruk aktor-aktor Cina di laut melainkan hanya pada kasus-kasus yang kami analisis," kata Ryan.

Terkait contoh yang berkaitan dengan Indonesia, Ryan menjelaskan kasus di mana kapal ikan berbendera Cina melakukan kerja paksa dan mengekspolitasi ABK Indonesia. 

Dalam kasus tersebut, lanjut dia, beberapa ABK Indonesia dilaporkan meninggal karena sakit, dipukuli, atau kurang air dan makanan sejak 2019.

Baca juga: 15 Kapal Rusia Siap Hadang 2 Kapal Perusak AS yang Telah Memasuki Laut Baltik

Perlakuan kejam dan kematian dari ABK Indonesia di atas kapal Cina tersebut, kata Ryan, telah didokumentasikan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia, media Indonesia, dan juga NGO nasional.

Terkait hal tersebut, kata Ryan, sikap pemerintah Cina menyatakan Cina adalah negara bertanggung jawab yang tidak mungkin melakukan kekejaman kepada buruh semacam itu. 

Hukum di Cina, disebut dirancang untuk melindungi hak-hak ABK asing yang diperkerjakan di kapal-kapal ikan Cina. 

Namun, dihadapkan dengan berbagai laporan terkait kekejaman kepada ABK tersebut, kata dia, Menteri Luar Negeri Cina menyatakan laporan terkait kekejaman terhadap ABK tersebut merupakan tuduhan palsu yang dibuat dengan intensi poltik. 

"Serupa, pernyataan media resmi Cina yang dipublikasikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya menyebut laporan ini kebohongan yang diciptakan untuk membuat pertentangan antara Indonesia dan Cina," kata Ryan.

Heidi melanjutkan setidaknya ada  empat kasus di mana kapal berbendera Cina masuk dan beroperasi secara ilegal ke wilayah perairan yurisdiksi negara lain. 

Salah satu contohnya terjadi pada tahun 2021, di mana kapal riset Cina diintersep oleh Bakamla karena beroperasi di wilayah teritori Indonesia dengan AIS yang dinonaktifkan. 

Ia mencatat, media di Indonesia berspekluasi kapal Cina tersebut mengumpulkan informasi oseanografi untuk operasi kapal selam milik Cina di area tersebut.

Terkait operasi ilegal di perairan negara lain tersebut, kata Heidi, pemerintah dan media Cina menggambarkan Cina sebagai negara maritim bertanggungjawab yang tunduk pada UNCLOS dan patuh pada hukum lokal ketika beroperasi di luar negeri.

"Namun, ketika dihadapkan dengan laporan kredibel yang menyatakan bahwa kapal riset mereka diintersep oleh otoritas Indonesia karena diduga beroperasi di wilayah teritorial Indonesia, pemerintah Cina memilih untuk tidak merespons secara publik. Kemungkinan mereka meremehkan tindakan tersebut," kata dia.

Padahal, lanjut dia, banyak aturan yang melarang aktifitas tersebut atau aktifitas ekonomi termasuk penangkapan ikan atau aktifitas penelitian seperti riset oseanografi di dalam negara kepulauan atau dalam hal ini wilayah perairan teritorial negara lain.

Tindakan tersebut yang dilakukan tanpa persetujuan, kata dia, adalah pelanggaran terhadap konvensi UNCLOS dan banyak aturan hukum lokal yang telah mengkodifikasikan aturan UNCLOS.

"Untuk menyimpulkan riset kami, ada kesenjangan yang konsisten di antara retorika pemerintah Cina dengan tindakan ilegal yang dilakukan aktor Cina di wilayah perairan internasional," kata Heidi.

Riset tersebut, kata dia, juga menunjukkan bahwa yang paling sering melanggar aturan di perairan internasional adalah kapal-kapal ikan komersial berbendera Cina. 

Selain itu, kata dia, Partai Komunis Cina menaruh perhatian yang sangat besar terhadap citra internasional Cina dan berusaha mengurangi dampak negatif terhadap tuduhan-tuduhan tersebut. 

Berdasarkan penelitian tersebut, kata dia, Partai Komunis Cina melakukannya dengan beberapa cara di antaranya dengan tidak mengakui dan mengabaikan tuduhan tersebut dengan cara meresponnya melalui diam, dengan menyangkal itu semua, dan kadang bahkan menuduh korbannya yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Upaya untuk meremehkan tindakan ilegal yang dilakukan oleh aktor-aktor tersebut, kata Heidi, juga bertentangan dengan laporan kredibel tentang perilaku buruk oleh aktor-aktor Cina.

Dalam kasus-kasus yang diteliti Heidi dan Ryan, aktifitas-aktifitas ilegal tersebut dilaporkan oleh otoritas negara lain, NGO, dan media massa, termasuk dukungan data dari Maritime Domain Platform (MDA), catatan-catatan penangkapan ikan, wawancara saksi mata, dan bahkan bukti foto dan video.

"Dalam menghadapi bukti-bukti tersebut, pemerintah Cina merespons dengan setidaknya menampilkan penyangkalan dan menyalahkan aktor-aktor lain. Pemerintah Cina berpendapat bahwa mereka telah mengizinkan mereka mengakses norma, aturan, dan hukum internasional yang telah dipublikasikan," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini