TRIBUNNEWS.COM - Kota pelabuhan Mariupol di Ukraina dikepung oleh pasukan Rusia.
100.000 hingga 200.000 orang terperangkap di kota yang terus dibombardir tanpa henti.
Pemerintah setempat mengatakan, 80 persen infrastruktur kota telah hancur, beberapa di antaranya tidak dapat diperbaiki.
Kota ini tanpa air, listrik, dan pemanas, dan tidak mungkin menghitung jumlah kematian.
Jatuhnya Mariupol akan menjadi pukulan ekonomi bagi Ukraina dan kemenangan simbolis bagi Rusia.
“Mariupol memiliki makna praktis dan simbolis bagi Rusia,” kata Andrii Ianitskyi, kepala pusat keunggulan dalam jurnalisme ekonomi di Kyiv School of Economics, Selasa (22/3/2022), dilansir The Guardian.
“Ini adalah kota pelabuhan besar dan pangkalan angkatan bersenjata Ukraina."
"Jadi, jika Rusia ingin memiliki koridor darat (dari Donbas) ke Krimea, mereka perlu mengontrol kota," terangnya.
Sejak 2014, kurang dari 30 km telah memisahkan Mariupol dari wilayah separatis yang dikuasai Rusia di Donbas.
Baca juga: Rusia Hentikan Negosiasi Damai dengan Jepang soal Kepulauan Kuril, Sebut Tokyo Ingin Rugikan Moskow
Baca juga: Presiden Zelenskyy Minta Warganya Terus Berjuang Bebaskan Ukraina Dari Rusia
Kota Mariupol Penting bagi Rusia
Mariupol adalah pusat metalurgi untuk besi dan baja, manufaktur mesin berat, dan perbaikan kapal.
Pabrik baja terbesar di Ukraina yang dimiliki oleh grup metalurgi terkemuka di negara itu, Metinvest, berlokasi di Mariupol.
Mariupol juga merupakan rumah bagi pelabuhan perdagangan terbesar di Laut Azov tempat Ukraina mengekspor biji-bijian, besi dan baja, serta mesin-mesin berat.
Pada 2021, tujuan utama ekspor Ukraina dari pelabuhan Mariupol adalah negara-negara Eropa dan Timur Tengah seperti Italia, Lebanon, dan Turki.
Menurut Ianitskyi, ada juga makna simbolis.
Baca juga: Dubes Rusia untuk Indonesia: Selamat Ulang Tahun ke-12 Tribunnews.com
Baca juga: Selamat dari Holocaust, Pria 96 Tahun Ini Tewas dalam Serangan Rusia di Ukraina
Pada 2014, Mariupol, kota terbesar kedua di wilayah Donetsk, bertahan dari pendudukan singkat oleh pasukan pro-Rusia.
Setelah Ukraina kehilangan kendali atas ibu kota regional Donetsk, Mariupol menampung jumlah terbesar pengungsi internal dari bagian Donbas yang diduduki lebih dari 96.000 orang pada 2019.
Mariupol juga akan menjadi kemenangan besar bagi propaganda Kremlin, yang menggambarkan Ukraina diperintah oleh Nazi dan perang sebagai “de-Nazifikasi”.
Kota ini telah menjadi basis batalion Azov, bekas unit paramiliter yang berakar pada kelompok sayap kanan dan neo-Nazi.
Ukraina Menolak Menyerahkan Mariupol
Diberitakan Al Jazeera, Ukraina telah menolak seruan Rusia untuk menyerahkan kota pelabuhan Mariupol.
"Tidak ada pertanyaan tentang penyerahan, peletakan senjata," kata Wakil Perdana Menteri Ukraina, Iryna Vereshchuk, Senin (21/3/2022).
“Kami telah memberi tahu pihak Rusia tentang ini," lanjutnya.
Mariupol telah mengalami beberapa pengeboman terberat sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.
Vereshchuk mengatakan, lebih dari 7.000 orang dievakuasi dari kota-kota Ukraina melalui koridor kemanusiaan, lebih dari setengahnya dari Mariupol.
Rusia dan Ukraina telah membuat kesepakatan sepanjang perang untuk menciptakan koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil, tetapi saling menuduh dan sering melanggarnya.
Baca juga: Hubungan Rusia-AS Makin Panas, Kremlin Tersinggung Presidennya Disebut Penjahat Perang
Baca juga: Demi Gencatan Senjata dengan Rusia, Presiden Ukraina Bersedia Tidak Gabung dengan NATO
Rusia Coba Membuat Mariupol Kelaparan agar Menyerah
Seorang anggota parlemen Ukraina menuduh Rusia berusaha membuat kota pelabuhan Mariupol yang terkepung kelaparan agar menyerah.
Dmytro Gurin berbicara setelah Ukraina menolak tenggat waktu Rusia yang menuntut para pembela Mariupol meletakkan senjata mereka sebagai imbalan untuk perjalanan yang aman ke luar kota.
Gurin mengatakan, tidak ada pertanyaan tentang penyerahan Mariupol.
"Rusia tidak membuka koridor kemanusiaan, mereka tidak membiarkan konvoi kemanusiaan memasuki kota dan kita melihat dengan jelas sekarang bahwa tujuan Rusia adalah untuk mulai (menciptakan) kelaparan (di kota) untuk menegakkan posisi mereka di diplomatik. proses,” ujarnya, Senin, seperti diberitakan BBC.
"Jika kota tidak menyerah, dan kota tidak akan menyerah, mereka tidak akan membiarkan orang keluar. Mereka tidak akan membiarkan konvoi kemanusiaan masuk ke kota," jelasnya.
Baca juga: Pengadilan Rusia Resmi Melarang Penggunaan Facebook dan Instagram, Kecuali WhatsApp
Baca juga: Ketika Panglima TNI Pelajari Aspek Militer Konflik Rusia dan Ukraina
Diketahui, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan "operasi khusus" Rusia bertujuan untuk melucuti senjata Ukraina dan membasmi nasionalis yang berbahaya.
Negara-negara Barat menyebutnya sebagai perang pilihan yang agresif dan telah menjatuhkan sanksi hukuman yang ditujukan untuk melumpuhkan ekonomi Rusia.
Krisis di Mariupol dan kota-kota Ukraina yang hancur lainnya kemungkinan besar akan dibahas dalam diskusi antara para pemimpin Uni Eropa.
Mereka mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi yang lebih keras terhadap Rusia, termasuk embargo minyak.
(Tribunnews.com/Nuryanti)