TRIBUNNEWS.COM - Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menolak untuk duduk bersama negosiator Rusia jika mereka hanya ingin membahas "denazifikasi" Ukraina.
Zelensky mengatakan Ukraina tidak membahas istilah "denazifikasi" dan "demiliterisasi" sama sekali selama pembicaraan dengan Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin terus-menerus membingkai invasinya ke Ukraina sebagai kampanye "denazifikasi", sebuah deskripsi yang dibantah oleh sejarawan dan pengamat politik.
"Kami tidak akan duduk di meja jika yang kami bicarakan hanyalah 'demiliterisasi', atau 'denazifikasi.' Bagi saya, ini benar-benar hal yang tidak bisa dipahami," ujar Zelensky, Minggu (27/3/2022), kepada wartawan independen Rusia, dikutip dari CNN.
Pertemuan sebelumnya, di mana pihak Ukraina mengatakan kepada pihak Rusia untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, tidak membuktikan "substantif sama sekali," tambahnya.
Baca juga: Jadi Tuan Rumah Pertemuan Kabinet Hari Ini, Erdogan Bahas Peran Turki Sebagai Mediator Rusia-Ukraina
Baca juga: Negosiasi Rusia dan Ukraina Putaran Berikutnya Akan Digelar di Istanbul Turki
Ketika rangkaian pembicaraan berikutnya antara kedua belah pihak akan dimulai di Istanbul pada Selasa (29/3/2022), Zelensky mengatakan dia "tidak menentang" percakapan dengan Rusia "selama ada hasil."
Ia menambahkan dirinya telah menganjurkan dialog bahkan sebelum perang dimulai.
Sebelumnya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, Ukraina dan Rusia tampaknya telah mencapai "kesepakatan" pada empat dari enam topik perjanjian yang dibahas selama negosiasi.
Erdogan juga menyebut ia akan berbicara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Jumat (25/3/2022), dan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin selama akhir pekan "atau hari-hari pertama pekan depan."
"Ada enam topik negosiasi antara Rusia dan Ukraina, tampaknya ada kesepakatan di antara mereka terkait empat topik," ujar Erdogan saat dalam perjalanan kembali dari KTT NATO di Brussels, Jumat, mengutip CNN.
"Awalnya, Ukraina menggantungkan masalah ini (soal keanggotaan NATO), tetapi kemudian Zelensky mulai menyatakan ia dapat menarik diri dari keanggotaan NATO."
"Masalah lainnya adalah menerima bahasa Rusia sebagai bahasa resmi, Zelensky tak keberatan. Bahasa Rusia adalah bahasa yang digunakan hampir seluruh Ukraina. Tidak ada masalah," tuturnya.
Erdogan juga mengatakan, komentar Zelensky soal perlunya referendum tentang kompromi dengan Rusia adalah "kepemimpinan yang cerdas."
Zelensky, pada Senin (21/2/2022), mengatakan setiap perubahan konstitusi yang berkaitan dengan jaminan keamanan di Ukraina, perlu diputuskan melalui referendum dan bukan oleh ia sendiri.
Tentang panggilannya yang akan datang denan Putin, Erdogan mengungkapkan "kita harus mendisusikan dan mengevaluasi" pertemuan NATO.
Baca juga: Klarifikasi Pernyataan Biden, Blinken Tegaskan AS Tak Ada Strategi Perubahan Rezim di Rusia
Baca juga: Sepasang Suami Istri dan Anak Berusia 3 Tahun Tewas Diserang Pasukan Rusia di Wilayah Kharkiv
"Kita harus mencari cara untuk memuluskan bisnis ini dengan mengatakan 'membuat jalan keluar yang terhormat'," ujarnya.
"Di sisi lain, kami (Turki) tentu menganggap penggunaan senjata pemusnah massal sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan," lanjutnya.
Pernyataan Biden soal Putin Ditolak Juru Bicara Kremlin
Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengatakan pemimpin Rusia Vladimir Putin "tidak dapat tetap berkuasa".
Pernyataan itu disampaikan oleh Biden dalam pidato berapi-api yang mendorong negara-negara demokrasi dunia untuk bersatu mendukung Ukraina.
Meski begitu, Gedung Putih mengatakan Biden tidak menyerukan perubahan rezim di Moskow.
“Demi Tuhan, orang ini (Putin) tidak bisa tetap berkuasa,” kata Biden di akhir pidato di Warsawa, ibu kota Polandia, pada hari Sabtu (26/3/2022), sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Kremlin menolak pernyataan itu, dengan mengatakan AS tidak memiliki wewenang dalam masalah ini.
“Itu bukan (wewenang) Biden untuk memutuskan. Presiden Rusia dipilih oleh Rusia,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, kepada Reuters.
Seorang pejabat Gedung Putih kemudian mengatakan bahwa Biden tidak menyerukan "perubahan rezim" di Rusia tetapi bermaksud bahwa "Putin tidak dapat diizinkan untuk menjalankan kekuasaan atas tetangganya atau wilayahnya."
Baca juga: Intelijen Kiev Sebut Rusia Ingin Pecah Ukraina Jadi Dua Negara Seperti Korea
Baca juga: Bicara Kepada Media Rusia, Zelenskyy: Volnovakha, Mariupol, dan Kota Kecil Dekat Kiev Tidak Ada Lagi
Pernyataan Biden di Warsawa datang setelah tiga hari pertemuan di Eropa dengan G7, Dewan Eropa, dan sekutu NATO.
Pertemuan itu berlangsung kira-kira pada saat yang sama ketika roket menghantam kota Lviv di Ukraina barat.
Dalam pidatonya, Presiden AS juga membandingkan perlawanan Ukraina terhadap invasi Rusia dengan "pertempuran untuk kebebasan" anti-Soviet dan mengatakan dunia harus bersiap untuk "perjuangan panjang ke depan".
“Dalam pertempuran ini kita harus memiliki pandangan yang jernih. Pertempuran ini juga tidak akan dimenangkan dalam beberapa hari, atau bulan, ”kata Biden.
“Kita harus berkomitmen sekarang, untuk berada dalam pertarungan ini untuk jangka panjang.”
Dia juga menyebut konflik di Ukraina sebagai “kegagalan strategis” bagi Moskow dan menegur Putin atas klaimnya bahwa invasi tersebut berusaha untuk “mende-Nazifikasi” Ukraina.
“Kami mendukung Anda,” katanya kepada Ukraina.
Berbicara kepada Rusia, dia mengatakan bahwa mereka “bukan musuh kita” dan mendesak mereka untuk menyalahkan Putin atas sanksi ekonomi berat yang dijatuhkan oleh Barat
Dia juga memperingatkan Rusia untuk tidak bergerak "seinci" dari wilayah NATO, mengulangi "kewajiban suci" pertahanan kolektif untuk anggota aliansi.
“Kremlin ingin menggambarkan perluasan NATO sebagai proyek kekaisaran yang bertujuan untuk mengacaukan Rusia,” kata Biden.
“NATO adalah aliansi pertahanan yang tidak pernah mencari kehancuran Rusia.”
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul AS Sebut Putin Tak Bisa Tetap Berkuasa, Kremlin: Biden Tak Punya Hak untuk Memutuskan
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Yurika)