TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, meminta maaf kepada parlemen, Selasa (19/4/2022), setelah didenda karena melanggar aturan lockdown Covid-19.
Dilansir Reuters, dalam pernyataan maafnya itu, Johnson sempat mengatakan ia tidak tahu bahwa acara ulang tahun yang diadakan di puncak pandemi, telah melanggar aturannya sendiri.
Anggota parlemen oposisi berpendapat, PM Johnson harus turun dari jabatannya.
Pasalnya, orang nomor satu di Inggris ini telah menetapkan aturan ketat selama pandemi Covid-19, lalu melanggarnya di Downing Stret, dan beberapa kali bohong kepada parlemen bahwa ia sudah mematuhi aturan.
Johnson mengatakan kepada House of Commons bahwa dia tidak sengaja menyesatkan parlemen, tetapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa dia melanggar aturan.
Baca juga: Inggris Janjikan 400 Juta Poundsterling Bantuan untuk Ukraina
Baca juga: Polisi Denda 20 Orang Terkait Pesta yang Diadakan PM Inggris Johnson saat Lockdown
Pada Kamis, DPR akan mengadakan pemungutan suara yang akan menentukan apakah Johnson harus diselidiki atas klaim menyesatkan parlemen.
Di bawah undang-undang menteri, dengan sengaja menyesatkan parlemen adalah pelanggaran yang mengakibatkan pengunduran diri.
"Segera setelah saya menerima pemberitahuan (dari polisi), saya mengakui rasa sakit dan kemarahan, dan saya mengatakan bahwa orang memiliki hak untuk mengharapkan yang lebih baik dari perdana menteri mereka," kata Perdana Menteri, Boris Johnson, kepada parlemen.
Pemimpin Partai Buruh, Keir Starmer, menuduhnya tidak menghormati pengorbanan yang dilakukan oleh publik Inggris selama penguncian dan merendahkan jabatannya.
Ia mendesak Perdana Menteri untuk mengundurkan diri.
Desember lalu, Johnson mengatakan kepada parlemen bahwa telah mengikuti semua aturan pembatasan selama lockdown.
Dia dikenai denda oleh kepolisian pekan lalu, setelah penyelidikan internal mengungkap Downing Street mengadakan pesta alkohol saat warga Inggris dilarang menghadiri pemakaman dan mengunjungi orang sakit.
Meski skandal ini menghebohkan Inggris, tekanan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Johnson mereda sejak invasi Rusia ke Ukraina.
Ini karena Johnson aktif berperan dalam membantu Ukraina dan mengecam Rusia.
Meski beberapa pihak berulang kali memintanya mundur dari jabatan, sebagian besar menilai situasinya belum tepat.
Namun Mark Harper, politisi Partai Konservatif, memaksa Johnson untuk segera mundur dan mengaku tidak percaya ia bisa memegang jabatan PM.
Pemungutan Suara
Anggota parlemen akan memberikan suaranya pada Kamis, untuk memutuskan apakah skandal pelanggaran lockdown oleh PM Johnson harus dilanjutkan ke komite hak istimewa parlemen untuk penyelidikan.
Namun, mosi tersebut kemungkinan tidak akan lolos karena Johnson tetap mendapat dukungan dari sebagian besar anggota parlemen di Partai Konservatifnya dan masih dapat memimpin mayoritas di parlemen.
Dalam pernyataan pertamanya kepada parlemen sejak dijatuhi denda, Johnson berusaha menangkis beberapa kritik dengan berbicara tentang masalah lain yang dia hadapi, termasuk perang di Ukraina, krisis energi, dan imigrasi.
Tapi, polisi telah menyelidiki 12 pertemuan di Downing Street dan Perdana Menteri masih bisa didenda lagi.
Tekanan juga akan meningkat, dengan anggota parlemen Konservatif lainnya diharapkan mempertimbangkan kinerja partai dalam pemilihan lokal pada 5 Mei, bersama dengan persepsi pemilih terhadap Perdana Menteri.
Sebuah jajak pendapat oleh JL Partners untuk surat kabar The Times meminta 2.000 orang untuk memberikan pandangan mereka tentang Boris Johnson.
Baca juga: Ultimatum Rusia terhadap Ukraina Gagal, Barat Akan Kirim Lebih Banyak Senjata
Baca juga: Lockdown Shanghai Berujung Krisis Pangan, Harga Mi Instan Nyaris Tembus Rp 1 Juta per Kardus
Sebanyak 72 persen responden negatif, sementara hanya 16 persen yang positif.
Kata yang paling umum digunakan adalah "pembohong".
John Whittingdale, mantan menteri dari Partai Konservatif, mengatakan bahwa sementara banyak konstituennya marah, sekarang bukan waktunya untuk menggantikan perdana menteri karena perang di Ukraina.
"Kami saat ini menghadapi krisis paling parah dalam keamanan global kami untuk waktu yang lama dan penting bagi kami untuk tetap fokus mengalahkan Putin dan menghentikan agresi terhadap Ukraina," katanya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)