TRIBUNNEWS.COM, BERLIN – Chief Executive Officer Commerzbank Manfred Knof memperingatkan Jerman, negara yang ekonominya terbesar Eropa, menghadapi ancaman gelombang kebangkrutan.
Sanksi agresif terhadap Rusia mengirimkan gelombang kejutan keuangan melalui Jerman, dan akan berdampak ke seluruh Eropa.
“Pasokan energi di Jerman berisiko, rantai pasokan rusak, kami mengalami inflasi tinggi,” kata Knof seperti dikutip surat kabar Handelsblatt, dikutip Russia Today, Minggu (7/5/2022).
Menurut Knof, hampir sepertiga perdagangan luar negeri Jerman telah terpengaruh. Hal ini memaksa perusahaan mengatur ulang problem asalah kompleks dengan pelanggan.
Baca juga: Uni Eropa Ajukan Boikot Impor dari Rusia, Harga Minyak Dunia Langsung Melonjak
Baca juga: Di Tengah Krisis Energi Eropa, Ekspor Gas Norwegia Capai Rekor Tertinggi Tahun ini
Baca juga: Media Jerman Hapus Video Testimoni Warga Mariupol yang Sudutkan Ukraina
Baca juga: Pentagon Latih Tentara Ukraina di Bekas Markas Pasukan Nazi Jerman di Bavaria
Baca juga: Mantan Presiden Rusia Dmitri Medvedev Ingatkan Jerman Bagaimana Perang Dunia II Berakhir
Efek dekatnya sudah terlihat dari melonjaknya harga komoditas dan kemacetan rantai pasokan.
“Kita tidak boleh menipu diri sendiri: jumlah kebangkrutan di pasar kita mungkin akan meningkat dan ketentuan risiko bank dengan itu,” kata Knof.
Pertemuan Menlu Uni Eropa
Pada Jumat, pejabat tinggi Uni Eropa Josep Borrell mengatakan para menteri luar negeri blok itu akan bertemu minggu depan.
Pertemuan digelar jika negara-negara anggota gagal mencapai kesepakatan bulat terkait proposal embargo total impor minyak dan gas Rusia.
Brussels melalui Presiden uni Eropa Ursula von der Leyen mengumumkan rencana embargo minyak Rusia awal pekan ini.
Langkah tersebut diharapkan mulai berlaku dalam waktu sembilan bulan, dengan jangka waktu yang bervariasi untuk produk minyak bumi yang berbeda.
Beberapa negara Uni Eropa, Hongaria, Slovakia dan Republik Ceko sedang berusaha mendapatkan pengecualian dari larangan tersebut.
Pada Senin, Komisaris Uni Eropa untuk Energi Kadri Simson meminta Brussels untuk mempercepat penyebaran sumber energi terbarukan.
Ia memperingatkan blok tersebut tidak dapat sepenuhnya menggantikan impor gas Rusia dengan pasokan bahan bakar fosil dari negara lain meskipun langkah-langkah telah diambil.
Komisi Eropa akan menyetujui rencana pembagian energi darurat pada 18 Mei mengantisipasi kemungkinan gangguan mendadak pasokan gas Rusia ke blok tersebut.
Russia Today mengutip pemberitaan surat kabar Spanyol, El Pais. Brussels memperingatkan dalam keadaan darurat, rencana tersebut akan mempengaruhi hampir semua mitra Uni Eropa di Madrid.
Sebab mereka yang memiliki sumber pasokan energi alternatif, seperti Spanyol, harus berbagi gas dengan negara-negara lain yang terdampak penghentian pasokan migas Rusia.
Cetak biru tersebut dilaporkan akan menetapkan penjatahan energi harus diterapkan sedemikian rupa.
Perusahaan-perusahaan di negara-negara Uni Eropa yang tak terpengaruh tak dapat memiliki keunggulan kompetitif atas perusahaan-perusahaan yang menghadapi pengurangan pasokan energi.
Hancurkan Ekonomi Eropa
Sebelumnya, kolumnis politik, Timur Fomenko menilai gagasan ambisius Komisi Uni Eropa mengembargo minyak dan gas Rusia akan menghancurkan ekonomi anggota blok itu.
Presiden Komisi Ursula Von Der Leyen menyatakan langkah-langkah ini akan dilaksanakan secara bertahap sepanjang tahun.
Sejumlah negara anggota sudah menyatakan sangat keberatan. Hungaria mengatakan, embargo itu seperti menjatuhkan bom nuklir ke negaranya.
Slovakia yang sangat tergantung pada minyak dan gas Rusia, juga keberatan. Kalangan bisnis industri Jerman juga keberatan dan tidak siap.
Timur Fomenko dalam artikelnya di Russia Today, Minggu (8/5/2022) menjelaskan, harga minyak mentah secara cepat naik di atas $ 114 per barel pada Jumat (6/5/2022) pagi.
Pejabat Moskow memperkirakan blok Uni Eropa tersebut masih akan membeli minyak Rusia melalui negara ketiga dan perantara.
Ini strategi yang diduga telah digunakan oleh Iran di bawah embargo Amerika yang keras selama bertahun-tahun.
Meskipun Langkah itu sulit, menurut Fomenko, Uni Eropa akan menjadi pecundang terbesar dari upaya semacam itu.
Embargo yang diusulkan mengungkapkan kerentanan strategis yang sangat besar dalam keamanan energi.
Ini mencakup kemampuan suatu negara, atau sekelompok negara, untuk mengamankan akses ke sumber daya energi ketika mereka tidak mampu memproduksi cukup sumber daya mereka sendiri.
“Ketika Anda mempertimbangkan berapa banyak perang yang telah dilakukan barat semata-mata atas akses ke pasokan minyak, termasuk dua di Irak, ini adalah masalah besar,” kata Fomenko.
Eropa Tidak Siap Hadapi Konfik Ukraina
Bagi Uni Eropa, memutus ketergantungan minyak terus menjadi langkah sulit yang akan memperburuk biaya energi dan inflasi yang sudah melonjak di seluruh benua.
Lantas bagaimana blok menemukan persediaan baru? Mengandalkan mitra lain akan membawa bahaya baru?
Pada 2020, 29 persen minyak mentah impor UE berasal dari Rusia, 9 persen dari AS, 8 persen dari Norwegia, masing-masing 7 persen dari Arab Saudi dan Inggris, dan masing-masing 6 persen dari Kazakhstan dan Nigeria.
Penghapusan pasar terbesar, Rusia, berarti blok itu sekarang harus meningkatkan impornya dari yang lain.
Kandidat alami tentu saja adalah negara-negara Teluk Persia. Ini berarti ketergantungan strategis UE pada akses berkelanjutan ke sumber daya minyak di Timur Tengah meningkat secara drastis, meningkatkan daya tawar dan pengaruh politik negara-negara ini.
Namun, semua bukti sejauh ini menunjukkan negara-negara OPEC diuntungkan dari harga yang lebih tinggi dan menolak untuk bekerja sama dengan tuntutan barat untuk meningkatkan produksi.
Ekonomi adalah tentang penawaran dan permintaan. Jika pasokan berkurang, tetapi permintaan tetap tinggi (mengingat Anda tidak dapat hidup tanpa minyak) maka harga akan naik.
Inilah yang menjelaskan mengapa penjual mana pun di dunia menurunkan harga ketika pelanggan tidak memiliki alternatif untuk produk penting Anda?
Fakta Rusia adalah bagian dari OPEC+ ini semakin memperumit masalah. Akibatnya, UE membuat kesalahan besar dalam kebijakan luar negerinya dan tidak memiliki rencana atau strategi darurat untuk mengatasi masalah yang muncul ini.
Bahaya Keamanan Strategis Sektor Energi
Saat ini, blok tersebut bertekad untuk memanfaatkan Ukraina untuk mencoba dan memaksakan kekalahan militer di Rusia.
Sementara itu, ia juga telah menunjuk dirinya sebagai kekuatan "Indo-Pasifik", menunjukkan sedikit inisiatif untuk menghindari tersedot ke dalam konfrontasi Washington dengan Cina di wilayah dunia yang tidak menjadi basisnya.
Hal ini membuat Uni Eropa memiliki pilihan untuk bermitra dengan India, tetapi negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu adalah konsumen murni energi.
India bukan pemasok – yang, secara kebetulan, merupakan alasan lain mengapa upaya untuk merusak hubungan New Delhi dengan Moskow kemungkinan besar akan gagal.
Ini semua menempatkan lubang menganga dalam kebijakan luar negeri UE dalam hal "keamanan energi" strategis.
Sementara berusaha mengurangi “ketergantungan strategis” pada Rusia, mereka hanya menciptakan ketergantungan yang ditambal di wilayah lain, membuka pintu bagi risiko baru.
Misalnya, bagaimana kebijakan Uni Eropa yang disorientasi terhadap Iran, yang telah melibatkan oposisi nominal terhadap program “tekanan maksimum” sepihak Amerika atas program nuklir Iran, akan bertahan dari krisis ini?
Bisakah UE menghindari keharusan menggunakan minyak Iran? Bagaimana, terlepas dari itu, Uni Eropa akan menanggapi Iran menjadi lebih kuat karena melonjaknya harga minyak, terlepas dari semua sanksi Amerika?
Itu bahkan sebelum kita mempertimbangkan apa yang terjadi jika krisis atau konflik besar lainnya di Timur Tengah muncul dan mengganggu pasokan minyak.
Apa yang Uni Eropa lakukan jika Irak kembali ke keadaan pemberontakan dan perang saudara?
Rusia terlalu besar sebagai sumber energi global yang kritis untuk diabaikan, itulah sebabnya sanksi UE tidak akan memberikan pukulan telak bagi ekonomi Rusia.
Jika larangan yang diusulkan itu bertahap, maka Rusia terus menghasilkan lebih banyak dalam jangka pendek dengan tetap menaikkan harga.
Ini hanya menunjukkan UE secara drastis melemahkan dirinya sendiri untuk menenangkan kepentingan AS yang memiliki kekuatan yang tidak proporsional atas kebijakan strategis dan luar negerinya.
Pastinya, AS mendapat keuntungan dari sanksi energi terhadap Rusia, tetapi menimbukan akibat lebih buruk bagi konsumen Eropa.
Dalam hal ini, sanksi ini akan lebih merugikan UE sendiri daripada ke Rusia. Ini akan sama menyakitkannya secara ekonomi karena akan menjadi bencana strategis.
Blok tersebut tidak memiliki alternatif konkret dan yang lebih buruk, ia bahkan hampir tidak mempertimbangkan alternatif semacam itu.
Ini akan membuat benua itu lebih lemah, lebih miskin dan lebih rentan, mengancam pengulangan mengerikan dari krisis energi tahun 1970-an, yang berdasarkan data inflasi, sudah berlangsung.
Kalangan perbankan Eropa pun sudah mulai merasakan dampak ekonomi kebijakan Uni Eropa dalam konflik Ukraina.
Kebutuhan menyisihkan uang tunai untuk melindungi konsekuensi ekonomi yang diharapkan dari sanksi anti-Rusia telah mengakibatkan kerugian miliaran euro bagi bank-bank Eropa.
Pemberi pinjaman sejauh ini telah menerima sekitar $9,6 miliar, dipimpin Societe Generale dan UniCredit.
ING dan Intesa Sanpaolo melaporkan bahwa eksposur Rusia telah memangkas pendapatan bersih kuartal pertama gabungan mereka hampir $2 miliar.
Beberapa pemberi pinjaman mengatakan pandangan mereka untuk tahun ini akan dibatalkan jika hambatan konflik Rusia-Ukraina pada ekonomi global memburuk.
Intesa dilaporkan telah memangkas target laba 2022, memperingatkan bahwa skenario "sangat konservatif" membayangkan pukulan yang lebih keras.
“Kepailitan perusahaan di pasar kami mungkin akan meningkat” pada tahun 2022 di tengah melonjaknya harga energi, inflasi yang tinggi, dan gangguan rantai pasokan, menurut Chief Executive Officer Commerzbank Manfred Knof.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)