News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gedung Putih Melunak ke Venezuela, Incar Kembali Pasokan Minyak ke AS

Penulis: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Venezuela Nicolas Maduro

TRIBUNNEWS.COM, CARACAS – Pemerintah AS dikabarkan melunak, dan membuka jalan hubungan dengan pemerintahan Nicolas Maduro di Venezuela.

Washington kemungkinan juga akan meringankan sanksi ekonomi dan tekanan ke negara itu. AS ingin perusahaan minyak Chevron kembali beroperasi di Venezuela.

Venezuela yang dipimpin tokoh sayap sosialis, merupakan negara yang memiliki cadangan minyak terbesar kedua di dunia.

Pada Senin (17/5/2022), kantor berita Associated Press melaporkan, mengutip dua pejabat senior AS Washington sedang bersiap meringankan sebagian dari sanksi ekonomi terhadap Venezuela.

Mereka membuka jalan Chevron Corp, melanjutkan operasi di negara itu. Wakil Presiden Venezuela, Delcy Rodriguez mengonfirmasi kabar itu.

"Pemerintah Bolivarian Venezuela memverifikasi dan mengkonfirmasi berita AS telah mengizinkan perusahaan minyak Amerika dan Eropa untuk bernegosiasi dan melanjutkan operasi di Venezuela," cuit Rodriguez di akun Twitternya.

Baca juga: Pasukan Khusus Kolombia Masuk Venezuela, Tewaskan Eks Pemimpin FARC

Baca juga: Hendak Culik Presiden Venezuela, Dua Prajurit Komando AS Dijatuhi Hukuman 20 Penjara

Baca juga: Tentara Bayaran AS Tertangkap di Venezuela, Berencana Merebut Istana Presiden

Para pejabat AS juga mengatakan jika ada kemajuan, mungkin ada peluang untuk keterlibatan AS dengan pemerintah Nicolás Maduro.

Negosiasi akan dilakukan, dan hasilnya tergantung perundingan yang berjalan. Washington dapat menyesuaikan kebijakan sanksinya untuk menambah atau mengurangi tekanan.

Upaya AS ini dilakukan seiring krisis di Ukraina dan sanksi ketat ke Rusia termasuk ke pasok energi fosilnya.

Pada Maret, AS dan Venezuela membahas kemungkinan pelonggaran sanksi minyak terhadap Caracas tetapi gagal membuat kemajuan yang signifikan.

Washington memperkenalkan paket pembatasan pertama terhadap Venezuela pada 2015, atas alasan pelanggaran hak asasi manusia.

Mahasiswa, pemuda dari berbagai lingkungan dan pendukung pemerintah Presiden Venezuela Nicolas Maduro berbaris pada Hari Pemuda di Caracas, pada 12 Februari 2022. (Photo by Yuri CORTEZ / AFP) (AFP/YURI CORTEZ)

Sanksi diperpanjang setelah pemilihan presiden yang berlangsung pada 2019. AS, bersama sejumlah negara barat lainnya, tidak mengakui terpilihnya kembali Presiden Nicolás Maduro.

Mereka mendukung Juan Guaido, Ketua Majelis Nasional yang dikuasai oposisi, sebagai kepala negara sementara.

Pergolakan politik dan kekerasan terjadi di Venezuela. Operasi rahasia menggunakan grup bersenjata dari Kolombia digagalkan pasukan Venezuela.

Dua orang tentara bayaran dan bekas prajurit pasukan khusus AS tertangkap di perbatasan Venezuela-Kolombia.

Gelagat Awal Kepentingan AS

Pemerintah Venezuela bulan lalu mengumumkan dimulainya kembali upaya politik untuk berkomunikasi dengan kelompok oposisi yang didukung AS.

Presiden Venezuela Nicolas Maduro juga mengumumkan pengaktifan kembali komunikasi Caracas dan pemerintahan AS.

Sebagai tanda awal, pemerintahan Maduro membebaskan warga AS Gustavo Cardenas, salah satu dari enam eksekutif Exxon yang ditahan di Venezuela atas tuduhan korupsi dan penggelapan sejak 2017.

Venezuela juga membebaskan Jorge Alberto Fernández, seorang Kuba-Amerika yang ditahan atas tuduhan terorisme.

Dialog antara pemerintah Venezuela dan faksi-faksi oposisi dihentikan pada Oktober menyusul 'penculikan' diplomat Alex Saab oleh otoritas Cape Verde yang bekerja dengan para pejabat AS.

Pengumuman itu muncul setelah pengungkapan delegasi tingkat tinggi AS terbang ke Caracas untuk bertemu dengan Maduro dalam upaya untuk mengamankan akses ke minyak Venezuela.

Washington berusaha keras melemahkan hubungan negara itu dengan Rusia.

Maduro menjelaskan jika Caracas ingin meminta dunia untuk berdialog di Ukraina, maka itu harus dilakukan lewat contoh nyata.

Faksi garis keras oposisi yang dipimpin Juan Guaido tampaknya benar-benar kecolongan saat Biden mengirim utusan ke Venezuela untuk pertama kalinya sejak AS memutuskan hubungan.

Setelah Presiden Maduro mengkonfirmasi pembicaraan tersebut, Senator Marco Rubio (R-FL) mengungkapkan kebingungannya.

New York Times pada 2019 menjuluki politisi itu sebagai “juru bicara de facto” kelompok kudeta Venezuela yang digagalkan.

“Gedung Putih meninggalkan mereka yang mencari kebebasan #Venezuela dengan imbalan minyak dalam jumlah yang tidak signifikan,” kata Rubio dalam satu posting yang menunjukkan kemarahan.

Kunjungan utusan pemerintahan Biden ke Venezuela mengungkap Langkah langka Gedung Putih, Kongres, dan media arus utama sehubungan dengan operasi militer Rusia di Ukraina.

Politisi arus utama AS secara universal mengutuk kampanye demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina oleh Rusia.

Tetapi karena Biden melarang impor minyak Rusia dan mendorong Eropa untuk melakukan hal yang sama, nasib tujuh juta barel minyak yang dipompa Rusia setiap hari jadi masalah krusial.

Kepala OPEC Mohammed Barkindo menyebut pelarangan impor minyak Rusia sebagai hal yang mustahil.

"Tidak ada kapasitas di dunia yang dapat menggantikan 7 juta barel per hari [Rusia]," kata Barkindo kepada wartawan baru-baru ini.

Baca juga: Iran Ingatkan AS Tidak Ganggu Kiriman Minyak Mereka ke Venezuela

Baca juga: AS Tak Terima Iran Kirim Minyak untuk Venezuela, Siap Jatuhkan Sanksi kepada Semua yang Membantu

Reaksi Marah Politisi Republik

Politisi Republik dan media sayap kanan AS bereaksi lewat kemarahan menyusul upaya pemulihan hubungan AS dan Venezuela.

"Joe Biden menggunakan #Rusia sebagai alasan untuk melakukan kesepakatan yang selalu ingin mereka lakukan dengan #MaduroRegime," cuit Senator Republik Florida Marco Rubio.

“Daripada menghasilkan lebih banyak minyak Amerika, dia ingin mengganti minyak yang kita beli dari seorang diktator pembunuh dengan minyak dari diktator pembunuh lainnya,” lanjutnya.

Partai Republik mengklaim kekurangan bahan bakar yang disebabkan sanksi barat menunjukkan perlunya melonggarkan peraturan penggunaan bahan bakar fosil di AS.

Demokrat sebagian besar menggemakan retorika agresif Rubio tentang dimulainya kembali hubungan dengan Venezuela.

Senator Bob Menendez (D-NJ) menyebut Maduro sebagai "kanker di belahan bumi kita." Namun krisis minyak bagi industry AS dan Eropa meninggalkan konsekuensi berbahaya.

"Sangat jelas penolakan terhadap minyak Rusia akan menyebabkan konsekuensi bencana bagi pasar global," kata Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak.

"Lonjakan harga tidak dapat diprediksi. Itu akan menjadi $300 per barel jika tidak lebih."

Saul Kavonic, analis industri energi Credit Suisse, juga menekankan sulitnya menahan pasokan bahan bakar dalam keadaan seperti itu.

“Ketika Anda mengalami periode kekurangan investasi yang berkepanjangan, Anda tidak bisa begitu saja membalik tombol dan mengembalikannya dalam semalam,” katanya kepada New York Times.

“Secara harfiah semua opsi harus ada di atas meja dalam hal sumber pasokan alternatif,” kata Kavonic.

“Tidak ada satu sumber, apakah itu Arab Saudi, Venezuela, Iran, AS, akan mampu dengan sendirinya menggantikan totalitas pasokan Rusia jika semua ekspor Rusia dikenakan sanksi,” lanjutnya.

Ironisnya, para pejabat AS yang selalu mempersoalkan urusan negara lain, membuka opsi jalan keluar psokan minyak, termasuk dari Iran yang mereka musuhi sekalipun.

Menteri Transportasi AS, Pete Buttigieg mengatakan kepada MSNBC, semua opsi ada di atas meja, saat ditanyakan kemungkinan AS mengambil minyak dari Iran.(Tribunnews.com/Sputniknews/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini