Secara total, pemanfaatan kapasitas ekspor di Afrika adalah sekitar 60 persen untuk kilang LNG dan 40 persen jaringan pipa.
Sementara di Aljazair hak ekspor gas dicadangkan untuk Sonatrach milik negara, di negara-negara Afrika lainnya infrastruktur ekspor dikendalikan perusahaan minyak utama barat.
Antara lain Eni, Shell, TotalEnergies dan lain-lain. Akibatnya, kemampuan pemerintah Afrika mempengaruhi volume dan arah ekspor terbuka jadi tanda tanya.
Pada 2021, negara-negara Afrika memasok 16,6 juta ton (MT) LNG (kira-kira setara dengan 23 bcm) ke negara-negara UE, 7 MT lainnya dikirim ke Inggris dan Turki, 16,7 MT ke Asia, dan 0,5 MT ke Amerika Latin .
Meskipun pertumbuhan ekonomi pascapandemi dan pemulihan permintaan gas yang dinamis, Afrika hanya mampu meningkatkan ekspor LNG sebesar 2 MT dibandingkan tahun krisis 2020.
Ekspor pipa ke Spanyol dan Italia dari Aljazair dan Libya berjumlah 35 bcm. Dengan demikian, Afrika mengekspor sekitar 68 bcm ke UE pada 2021.
Bisakah Afrika Genjot Ekspor ke Uni Eropa?
Menurut kedua pakar Rusia itu bisa dilakukan. Namun, volumenya kecil dan melibatkan transfer kargo LNG spot dari Asia ke Uni Eropa.
Secara total, langkah semacam itu dapat menghasilkan sekitar 10 bcm per tahun. Namun, UE harus menawarkan harga yang lebih baik daripada pembeli di Asia.
Inggris juga berencana meninggalkan gas Rusia, dan Turki – salah satu importir terbesar di kawasan Mediterania.
Pengekspor gas Afrika dapat dibagi menjadi dua kategori mereka yang memiliki kapasitas ekspor cadangan (Aljazair, Mesir) tetapi kekurangan pasokan gas mereka sendiri.
Kedua, mereka yang memiliki gas tetapi tidak memiliki kapasitas untuk mengekspornya dengan benar (Nigeria, Mauritania/Senegal, dan Mozambik).
Aljazair dan Mesir mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan produksi, tetapi sebagian besar pertumbuhan ini dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestic.
Antara lain untuk pembangkit listrik, industri, produksi pupuk. Sisi lain, kilang saat ini sedang dibangun di Mauritania, Senegal, Mozambik dan Nigeria.