TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Andrey Maslov, Direktur Pusat Studi Afrika di Sekolah Tinggi Ekonomi di Moskow mengatakan, gas Afrika memiliki potensi lebih banyak daripada AS dan Qatar.
Hal sama dikemukakan Vsevolod Sviridov, seorang peneliti di Intexpertise, Departemen Studi Afrika, Universitas Negeri St Petersburg.
Dalam artikel di Russia Today, Kamis (19/5/2022), keduanya mengajukan kalimt retoris apakah Eropa dan AS akan melirik Afrika untuk menggantikan sumber gas Rusia.
Pada 2021, Rusia memasok sekitar 45 persen gas alam Uni Eropa, memompa sekitar 155 miliar meter kubik (bcm) melalui beberapa pipa.
Uni Eropa kini sedang mempertimbangkan rencana menghentikan penggunaan gas Rusia. Nigeria, Senegal dan Angola dipertimbangkan sebagai sumber pengganti.
Menurut Mazlov dan Sviridov, ada lebih banyak hype di sekitar gas Afrika daripada LNG Amerika atau Qatar, yang tampaknya merupakan pengganti yang lebih jelas.
Baca juga: Putin : Uni Eropa Membuat Sanksi Bunuh Diri, Mereka di Bawah Tekanan AS
Baca juga: Uni Eropa Akhirnya Gagal Sepakat Embargo Minyak dan Gas Rusia
Baca juga: Embargo Impor Migas Rusia, Uni Eropa Hancurkan Ekonomi Mereka Sendiri
Uniknya, meski tidak memerlukan banyak negosiasi, gas Afrika tetap menjadi masalah yang sama sekali berbeda.
Delegasi pemerintah Italia telah mengunjungi Aljazair, Angola, Mesir dan Republik Kongo sejak Februari.
Sejauh ini, sebagian besar kunjungan dan negosiasi berakhir hanya dengan deklarasi dan letter of intent.
Lembaga think tank energi terkemuka mengungkapkan skeptisisme tertentu tentang prospek pasokan gas dari Afrika ke Uni Eropa.
Berapa Banyak Gas dari Afrika ke Eropa?
Uni Eropa mengimpor gas melalui pipa dari Aljazair dan Libya, serta mendapatkan gas alam cair (LNG) dari Aljazair, Angola, Kamerun, Mesir, Guinea Khatulistiwa, dan Nigeria.
Total kapasitas infrastruktur ekspor gas Afrika (baik jaringan pipa maupun kilang LNG) adalah sekitar 170 miliar meter kubik (bcm) per tahun.
Pada saat yang sama, 125 bcm dari kapasitas ini berada di bawah kendali Aljazair, di mana ekspor gas tahunan secara bertahap menurun ke tingkat antara 40 dan 50 bcm.
Secara total, pemanfaatan kapasitas ekspor di Afrika adalah sekitar 60 persen untuk kilang LNG dan 40 persen jaringan pipa.
Sementara di Aljazair hak ekspor gas dicadangkan untuk Sonatrach milik negara, di negara-negara Afrika lainnya infrastruktur ekspor dikendalikan perusahaan minyak utama barat.
Antara lain Eni, Shell, TotalEnergies dan lain-lain. Akibatnya, kemampuan pemerintah Afrika mempengaruhi volume dan arah ekspor terbuka jadi tanda tanya.
Pada 2021, negara-negara Afrika memasok 16,6 juta ton (MT) LNG (kira-kira setara dengan 23 bcm) ke negara-negara UE, 7 MT lainnya dikirim ke Inggris dan Turki, 16,7 MT ke Asia, dan 0,5 MT ke Amerika Latin .
Meskipun pertumbuhan ekonomi pascapandemi dan pemulihan permintaan gas yang dinamis, Afrika hanya mampu meningkatkan ekspor LNG sebesar 2 MT dibandingkan tahun krisis 2020.
Ekspor pipa ke Spanyol dan Italia dari Aljazair dan Libya berjumlah 35 bcm. Dengan demikian, Afrika mengekspor sekitar 68 bcm ke UE pada 2021.
Bisakah Afrika Genjot Ekspor ke Uni Eropa?
Menurut kedua pakar Rusia itu bisa dilakukan. Namun, volumenya kecil dan melibatkan transfer kargo LNG spot dari Asia ke Uni Eropa.
Secara total, langkah semacam itu dapat menghasilkan sekitar 10 bcm per tahun. Namun, UE harus menawarkan harga yang lebih baik daripada pembeli di Asia.
Inggris juga berencana meninggalkan gas Rusia, dan Turki – salah satu importir terbesar di kawasan Mediterania.
Pengekspor gas Afrika dapat dibagi menjadi dua kategori mereka yang memiliki kapasitas ekspor cadangan (Aljazair, Mesir) tetapi kekurangan pasokan gas mereka sendiri.
Kedua, mereka yang memiliki gas tetapi tidak memiliki kapasitas untuk mengekspornya dengan benar (Nigeria, Mauritania/Senegal, dan Mozambik).
Aljazair dan Mesir mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan produksi, tetapi sebagian besar pertumbuhan ini dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestic.
Antara lain untuk pembangkit listrik, industri, produksi pupuk. Sisi lain, kilang saat ini sedang dibangun di Mauritania, Senegal, Mozambik dan Nigeria.
Dari negara-negara inilah diharapkan terjadi peningkatan ekspor dalam jangka menengah.
Keputusan investasi telah diambil membangun fasilitas ekspor baru di Nigeria, Mozambik, dan di perbatasan Senegal dan Mauritania.
Secara total, mereka akan menambah hingga 14 MTPA LNG (sekitar 19,3 bcm) pada 2025. Instalasi ketujuh dari kilang LNG Nigeria diharapkan menghasilkan hingga 8 MTPA.
Proyek Great Tortue di perbatasan Mauritania dan Senegal akan memasok 2,5 MTPA, dan Coral South di Mozambik akan menghasilkan 3,4 MTPA.
Keputusan investasi pada proyek-proyek ini dibuat pada 2017-2019, jauh sebelum tahap krisis di Ukraina saat ini.
Tapi energi ini bukan untuk Uni Emirat saja. Nigeria secara tradisional menjual 50 persen LNG-nya ke kawasan Asia-Pasifik.
Sementara proyek di Mozambik juga menargetkan pasar di India, Cina, dan Jepang. Akhirnya, permintaan LNG secara bertahap muncul di Afrika sendiri (Afrika Selatan dll), sehingga sebagian gas mungkin tetap berada di Afrika.
Peran Strategis Afrika
Jika pasokan Rusia dapat ditinggalkan demi produk Afrika yang setara, Uni Eropa akan melakukannya sejak lama.
Tugas ini telah diprioritaskan sejak 2008, ketika Komisaris Energi UE saat itu Andris Piebalgs mengunjungi Nigeria untuk membahas rute Trans-Sahara.
Brussel telah berusaha untuk meningkatkan pasokan, dari sumber ini dengan sekuat tenaga tetapi tanpa hasil.
Hampir tidak mungkin untuk memeras lebih banyak gas dari Afrika. Dengan demikian, penerima manfaat utama dari penolakan UE terhadap produk Rusia adalah AS, di samping Qatar (ExxonMobil).
Lalu Israel, Azerbaijan, dan Iran yang memiliki peluang bagus untuk mendapatkan bagian kue energi global juga.
Pada saat yang sama, Afrika telah dan tetap menjadi sumber energi penting bagi Uni Eropa.
Situasi pasar saat ini dapat menghidupkan kembali proyek-proyek yang sebelumnya dianggap tidak layak.
Termasuk pembangunan pipa melintasi Sahara dari Nigeria ke Aljazair, pipa Mediterania Timur, atau sebanyak tiga proyek baru untuk ekspor LNG dari pantai Afrika Timur Mozambik, Tanzania , atau Djibouti.
Di sisi lain, dalam dekade berikutnya, gas akan memainkan peran kunci dalam pengembangan sektor energi dan industri (produksi pupuk, semen, polypropylene, dll) di banyak negara Afrika.
Negara-negara produsen utama, terutama Aljazair, Mesir dan Nigeria, harus memilih antara memenuhi permintaan domestik yang meningkat dan godaan untuk meningkatkan ekspor.
Pilihan prioritas antara ekspor dan konsumsi domestik (lebih banyak pendapatan mata uang asing atau pasokan yang lebih besar tersedia untuk sektor energi dan industri) akan menentukan peran Afrika di pasar energi dunia selama 20 tahun ke depan.
Distribusi gas antara konsumsi domestik dan ekspor akan tergantung, antara lain, pada keputusan pemerintah, yang seringkali dibuat di bawah tekanan dari operator, pembeli, dan negara donor.
Regulator dan perusahaan milik negara di negara-negara seperti Mozambik dan Nigeria sering membuat keputusan berdasarkan rekomendasi konsultan asing, dan pilihan seperti itu tidak selalu sesuai kepentingan tuan rumah.
Aljazair dan Mesir telah melangkah lebih jauh dalam pengembangan pasar domestik mereka dan memberi mereka prioritas.
Tetapi konsultan asing mereka memberikan tekanan besar kepada mereka untuk mengabaikan subsidi, meliberalisasi pasar mereka, dan membagi monopoli negara.
Uni Eropa masih memiliki peluang. Krisis ekonomi yang menghancurkan, dengan penurunan tajam dalam permintaan dan produksi listrik di Aljazair atau Mesir akan membebaskan volume tambahan gas untuk ekspor.
Ironisnya, Gazprom, Rosneft, LUKOIL secara sporadis berpartisipasi dalam proyek E&P di seluruh Afrika.
Artinya, mereka sebenarnya bermain bersama musuh strategis mereka sendiri.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)