TRIBUNNEWS.COM - Lebih dari 500 anak Ukraina terjebak dan menunggu ketidakpastian visa masuk ke Inggris, setelah mendaftar skema Homes for Ukraine.
Ratusan anak tersebut merupakan korban perang yang melarikan diri dari Kyiv ke Eropa, menurut sumber yang bekerja sama dengan Kantor Dalam Negeri.
Dilansir The Guardian, sebagian besar mereka adalah remaja yang memiliki keyakinan memenuhi syarat dan dengan alasan memiliki keluarga yang menampung mereka di Inggris.
Tetapi, banyak remaja yang belum mendengar kabar apapun dari Home Office.
Baca juga: Kepala Jaksa Ukraina Prediksi akan Ada 100.000 Lebih Kasus Kejahatan Perang yang Dilakukan Rusia
Baca juga: Ratusan Warga Lithuania Galang Dana Untuk Bantu Militer Ukraina Beli Drone Canggih
Ada yang menunggu selama dua bulan atau lebih tanpa jawaban karena keragu-raguan tentang bagaimana menangani kasus mereka.
Beberapa anak sendirian di Eropa setelah meninggalkan rumah, berpikir bahwa mereka akan segera bergabung dengan keluarga di Inggris yang siap menyambut mereka.
Lainnya dengan saudara kandung yang sudah dewasa atau teman keluarga yang telah dijadikan wali sah tetapi masih belum memiliki izin untuk masuk Inggris.
Sekitar 25 anak tanpa pendamping diizinkan masuk ke Inggris selama dua minggu pertama skema Homes for Ukraine dan sebagai hasilnya berakhir dalam perawatan, kata sumber.
Meskipun kebijakan sekarang mengatakan anak-anak tidak dapat bepergian tanpa orang tua mereka kecuali mereka dengan wali yang sah, Home Office belum menawarkan keputusan atau solusi untuk semua orang yang mengajukan sebelum ini ditetapkan.
Bahkan remaja yang bepergian dengan orang dewasa yang telah dijadikan wali sah oleh orang tuanya termasuk di antara mereka yang terjebak dalam kebuntuan.
Baca juga: Putin Beri Peringatan kepada Presiden Prancis dan Kanselir Jerman soal Pasokan Senjata ke Ukraina
Baca juga: Rusia Unggah Klip Video Tunjukkan Senjata Artileri Berat Malka Tembaki Situs Militer Ukraina
Kisah Nazarii
Awal bulan ini, Guardian menceritakan kisah Nazarii (17) yang mendengarkan pesawat perang terbang di atas desanya di Ukraina barat, sementara dia menunggu keputusan dari Home Office.
Seorang asisten pengajar dan keluarganya di Hampshire siap menerimanya.
Namun, dia tidak mendengar apa-apa sejak mengajukan aplikasi pada 11 April.
Lebih dari tiga minggu kemudian, dia masih di Ukraina tanpa kabar penolakan atau pembaruan.
“Kementerian Dalam Negeri belum memberi saya informasi apa pun. Saya tidak tahu harus berbuat apa,” katanya.
“Kalau penolakan, ok (baik), tapi tanpa informasi apapun itu tidak mungkin," imbuhnya.
Baca juga: Perbincangan Putin, Macron, dan Scholz Sebut Rusia Siap Lanjutkan Negosiasi Damai dengan Ukraina
Baca juga: Putin Pecat Ratusan Tentara Nasional Rusia karena Tolak Perintah Perang di Ukraina
Terlalu banyak anak terjebak dalam ketidakpastian
Kepala Eksekutif Badan Amal Pengungsi Anak Safe Passage Beth Gariner-Smith menyebut terlalu banyak anak yang terjebak dalam ketidakpastian.
"(Mereka) sendirian di Ukraina dan negara-negara tetangga, (merasa) putus asa untuk (dapat) bergabung dengan sponsor di sini, Inggris," imbuh Gariner-Smith.
"Tidak dapat diterima, ini membuat anak-anak sendirian dalam posisi berbahaya dan rentan pada risiko eksploitasi," tegasnya.
Gardiner-Smith mengatakan pemerintah harus memperluas skema Homes for Ukraine untuk memasukkan anak-anak tanpa pendamping dengan bekerja sama dengan otoritas lokal dan badan amal untuk memastikan perlindungan.
Baca juga: Inilah Roket Penyembur Api TOS-2 Rusia, Dikerahkan Pertama Kali di Medan Tempur Ukraina
Baca juga: Detik-detik Anak Anggota Parlemen Inggris Digempur Artileri Rusia di Medan Perang Ukraina
Tanggapan pejabat Inggris
Menteri Imigrasi Bayangan Stephen Kinnock menyampaikan kekhawatiran dalam surat kepada Menteri Imigrasi.
Dia menyinggung soal kebijakan pemerintah tentang anak di bawah umur yang tidak didampingi.
“Kami memahami bahwa pemerintah perlu melakukan pemeriksaan pengamanan yang komprehensif," katanya.
"Ttetapi ada pertanyaan khusus tentang mengapa penundaan yang lama masih terjadi," tuturnya.
Berita lain terkait dengan Konflik Rusia Vs Ukraina
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)