TRIBUNNEWS.COM - Pejabat Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa beberapa pejabat India mengabaikan bahkan mendukung serangan terhadap kelompok agama minoritas.
Pernyataan ini memicu kemarahan dari New Delhi yang menilai AS "kurang informasi".
Pernyataan Rashad Hussain pada Kamis (2/6/2022), yang memimpin upaya Departemen Luar Negeri AS untuk memantau kebebasan beragama di seluruh dunia, menyertai laporan tahunan departemen tersebut tentang kebebasan beragama global.
Dikatakan serangan terhadap kelompok minoritas, termasuk pembunuhan, penyerangan, dan intimidasi, terjadi sepanjang tahun 2021 di India.
Salah satu bentuk kekerasannya yakni serangan terhadap warga non-Hindu karena menyembelih sapi atau memperdagangkannya.
Baca juga: Penjualan Tesla Terhambat Pajak Impor, Elon Musk Ancam Batal Bangun Pabrik Supercar di India
Baca juga: Siapa Saja yang Berhenti Beli Minyak Rusia? India dan China Tergiur Diskon
Dilansir Reuters, umat Hindu di India menganggap sapi sebagai hewan suci dan keramat.
Umat Hindu mencakup sekitar 80 persen dari 1,35 miliar total populasi India.
Beberapa negara bagian yang diperintah Partai Nasionalis Hindu pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, telah memberlakukan undang-undang yang melarang penyembelihan sapi.
Hussain mengatakan, ada segelintir pejabat India yang mengabaikan atau mendukung meningkatnya serangan terhadap orang dan tempat ibadah.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan bahwa laporan tersebut menunjukkan kebebasan beragama dan hak-hak minoritas di seluruh dunia berada dalam ancaman.
"Misalnya, di India, negara demokrasi terbesar di dunia dan rumah bagi keragaman agama yang besar, kami telah melihat meningkatnya serangan terhadap orang dan tempat ibadah," kata Blinken.
Kementerian Luar Negeri India membantah klaim ini dan mengatakan negara menghargai kebebasan beragama serta HAM.
Pihaknya menilai penilaian pejabat AS itu salah.
"Sangat disayangkan bahwa politik bank suara dipraktikkan dalam hubungan internasional," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri India, Arindam Bagchi, dalam sebuah pernyataan.
"Kami akan mendesak agar penilaian berdasarkan masukan yang termotivasi dan pandangan yang bias dihindari."
Dia juga mengatakan, India secara teratur menyoroti "serangan bermotivasi rasial dan etnis, kejahatan rasial dan kekerasan senjata" di Amerika Serikat.
India sering mengkritik Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS, sebuah panel pemerintah otonom yang telah berulang kali merekomendasikan agar Departemen Luar Negeri memasukkan India ke dalam daftar hitam.
Kendati demikian, Al Jazeera melaporkan, Departemen Luar Negeri AS dinilai tidak mungkin akan mengambil tindakan tersebut kepada India.
Apalagi karena negara ini dipandang sebagai mitra global utama dalam menghadapi kebangkitan China.
Baca juga: Peringati 33 Tahun Tragedi Tiananmen, Massa Mahasiswa Demo di Depan Kedubes China
Baca juga: 6,5 Tahun Dipenjara terkait Kasus Pembunuhan, WNA Asal Myanmar Menunggu Proses Deportasi
Pemerintah Partai BJP, dituduh memperjuangkan serangkaian tindakan yang oleh para kritikus disebut diskriminatif terhadap minoritas, terutama Muslim.
Tuduhan itu dibantah oleh partai.
Selain India, China dan Myanmar mendapat sorotan dalam laporan kebebasan beragama AS pada Kamis.
Kedua negara itu jadi perhatian karena penindasan terhadap sebagian besar Muslim Uyghur dan Rohingya.
"Kami telah melihat dua genosida komunitas agama minoritas dalam beberapa tahun terakhir di China dan Burma," kata Duta Besar AS, Rashad Hussain.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)