TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dikabarkan bertemu di Moskow, Minggu (17/7/2022).
"Mereka terus terang bertukar pandangan tentang promosi lebih lanjut dari hubungan persahabatan yang ada dan kerja sama teknologi militer," lapor media pemerintah Myanmar terkait pertemuan petinggi Myanmar dengan Shoigu.
Dilansir Al Jazeera, Rusia telah muncul sebagai salah satu pendukung paling penting militer Myanmar, yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021.
Seperti diketahui, Junta menggulingkan pemerintahkan yang dikuasai Partai Liga Nasional yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi merupakan penangkan pemilu Myanmar pada 2020.
Resim baru sedikit melegitimasi dunia internasional, protes meluas di Myanmar dengan perlawanan senjata bergulir sejak kudeta.
Baca juga: Rusia dan Myanmar yang Sama-sama Dikucilkan Dunia akan Perkuat Kerja Sama Pertahanan
Rusia enggan memberikan pengakuan formal kepada Junta sebagai pemerintah Myanmar, namun setuju mengizinkan duta besar yang ditunjuk oleh pemerintah yang digulingkan tetap duduk di kursi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Meski pernah ke Rusia, Min Aung Hlaing belum bertemu Putin
Sementara, Min Aung Hlaing telah melakukan beberapa kali perjalanan ke Rusia sejak kudeta, dia belum mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.
Negara itu mengerahkan senjata pada warga sipilnya sendiri dan menewaskan lebih dari 2.000 orang dalam waktu kurang dari 18 bulan.
Bahkan ketika banyak negara Barat telah memberlakukan sanksi terhadap militer, para pemimpin dan kepentingan bisnisnya, Rusia dan China terus mempersenjatai rezim tersebut.
“Rezim Putin membantu dan bersekongkol dengan kejahatan perang militer Myanmar dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan setiap hari dengan impunitas total,” kata Ketua Organisasi Hak Asasi Manusia Progressive Voice, Khin Ohmar.
Baca juga: Menlu RI: Krisis di Myanmar Buat Penanganan Orang Rohingya Jadi Lebih Menantang
Junta menghadapi perlawanan sengit dari kelompok bersenjata anti-kudeta yang baru dibentuk, yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), serta organisasi bersenjata etnis yang lebih mapan, yang telah berjuang untuk otonomi politik selama beberapa dekade.
Sementara kelompok sekutu ini telah mengejutkan banyak analis dengan kemenangan medan perang mereka sejak kudeta, tidak ada yang memiliki pesawat tempur, sehingga dominasi udara militer memberikan keuntungan yang berbeda.
Warga sipil dipaksa keluar
PBB mengatakan sekitar 700.000 orang telah diusir dari rumah mereka sebagai akibat dari pertempuran sejak kudeta.
Sementara itu, Min Aung Hlaing bersumpah untuk "memusnahkan" lawan militer.
Jet tempur Rusia tiba di Myanmar Maret kemarin
Awal bulan ini, outlet media lokal The Irrawaddy melaporkan bahwa dua dari enam jet tempur Su-30 Rusia yang dijanjikan tiba secara diam-diam di Myanmar pada bulan Maret.
Pada Kamis, Radio Free Asia melaporkan bahwa helikopter militer melepaskan tembakan di kotapraja Tabayin di wilayah Sagaing, sebuah benteng PDF, memaksa 4.000 warga sipil untuk melarikan diri dari 15 desa.
Baca juga: Ledakan Bom Terjadi di Dekat Pusat Perbelanjaan Yangon Myanmar, 2 Orang Tewas dan 11 Luka-luka
Dalam sebuah laporan baru-baru ini, Amnesty International mengatakan mereka mendokumentasikan delapan serangan udara yang menargetkan desa-desa dan sebuah kamp untuk pengungsi internal antara Januari dan Maret tahun ini di negara bagian Kayah dan Karen, di mana kelompok-kelompok etnis bersenjata terkemuka beroperasi.
“Di hampir semua serangan yang didokumentasikan, hanya warga sipil yang tampaknya hadir,” kata laporan itu.
Dikutip TMZ, Amnesty mengatakan militer telah menggunakan MiG-29 dan Yak-130 Rusia, serta F-7 dan K-8 China.
"Serangan udara tanpa pandang bulu adalah taktik utama junta tidak sah, karena melancarkan kampanye teror secara nasional," kata Ohmar.
"Junta menggunakan jet tempur Rusia dan helikopter tempur untuk menyerang rakyat Myanmar dan menghancurkan seluruh komunitas,” imbuhnya, menuduh Rusia mengambil keuntungan dari kekejaman.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)