TRIBUNNEWS.COM - Pejabat senior Amerika Serikat (AS) mendesak China untuk mengendalikan militer Myanmar buntut eksekusi terhadap empat orang aktivis demokrasi.
Militer Myanmar mengumumkan eksekusi empat orang itu karena dituduh membantu aksi teror, pada Senin (25/7/2022).
Dijatuhi hukuman mati dalam persidangan rahasia pada Januari hingga April, orang-orang ini dituduh membantu gerakan perlawanan sipil terhadap junta militer sejak kudeta tahun lalu.
Adapun mereka yang dieksekusi adalah jubir kampanye demokrasi Kyaw Min Yu (Jimmy), mantan anggota parlemen dan artis hip-hop Phyo Zeya Thaw, sekutu pemimpin terguling Aung San Suu Kyi.
Dua orang lainnya yang dieksekusi adalah Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengecam tindakan ini dalam sebuah pengarahan pada Selasa (26/7/2022).
Baca juga: ASEAN Didesak Ambil Tindakan Setelah Militer Myanmar Eksekusi Mati 4 Aktivis Demokrasi
"Bisa dibilang, tidak ada negara yang memiliki potensi untuk mempengaruhi lintasan langkah Burma selanjutnya lebih dari RRC (Republik Rakyat China)," kata Price, mencatat bahwa junta belum menghadapi tekanan ekonomi dan diplomatik, lapor The Guardian.
Price mengatakan, diskusi mendalam telah diadakan dengan China dan India tentang bagaimana mengembalikan Myanmar ke jalur demokrasi.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang bertemu dengan aktivis Myanmar di Bangkok bulan ini, menyuarakan keyakinan bahwa pembunuhan itu tidak akan menghalangi gerakan demokrasi negara itu.
"Pengadilan palsu rezim dan eksekusi ini adalah upaya terang-terangan untuk memadamkan demokrasi; tindakan ini tidak akan pernah menekan semangat orang-orang pemberani Burma," kata Blinken dalam sebuah pernyataan, menggunakan nama lama Myanmar.
Pernyataan itu muncul setelah China, sekutu lama militer Myanmar, menolak mengomentari eksekusi tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian mengatakan Beijing "selalu menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara lain".
Eksekusi yang digelar pada Senin kemarin, adalah penggunaan hukuman mati pertama di Myanmar setelah beberapa dekade.
Ini meningkatkan kekhawatiran bahwa eksekusi mati serupa akan terjadi berikutnya.
Baca juga: Junta Myanmar Sebar Ranjau di Sawah hingga Toilet, Warga Sipil Jadi Korban
Sejak kudeta pada Februari tahun lalu, 76 tahanan telah dijatuhi hukuman mati, termasuk dua anak-anak, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) Burma.
Sebanyak 41 orang lainnya telah dijatuhi hukuman mati secara in absentia.
Tindakan junta menuai kecaman dari negara-negara di dunia.
Sejumlah negara terdiri dari Uni Eropa, Australia, Kanada, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Korea Selatan, Inggris dan AS menuliskan pernyataan bersama untuk mengutuk eksekusi terhadap aktivis demokrasi.
Aung Myo Min, Menteri HAM dalam pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) yang dibentuk di pengasingan oleh sejumlah politisi, mengatakan bahwa mereka yang dieksekusi tidak terlibat dalam kekerasan.
"Menghukum mereka dengan kematian adalah cara untuk memerintah publik melalui ketakutan," kata dia kepada Associated Press.
Phyo Zeya Thaw, seorang rapper dan mantan anggota parlemen dari partai Aung San Suu Kyi, dan aktivis demokrasi terkemuka Kyaw Min Yu yang dikenal sebagai Jimmy dituduh bersekongkol melakukan aksi teror.
Baca juga: Myanmar Mengeksekusi 4 Aktivis Anti-kudeta, Picu Kecaman dan Kemarahan Internasional
Keduanya divonis hukuman mati pada Januari lalu.
Sedangkan Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, dituduh membunuh seorang wanita yang mereka curigai sebagai informan militer di Yangon, lapor AFP.
Menyusul laporan eksekusi, para demonstran di Yangon mengangkat spanduk bertuliskan "kami tidak akan pernah takut".
Sebanyak 14.847 orang telah ditangkap sejak kudeta, sementara 11.759 masih ditahan, menurut AAPP Burma.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)