TRIBUNNEWS.COM - Pejabat yang ditunjuk Moskow di wilayah Kherson memutuskan menunda referendum untuk bergabung dengan Rusia karena serangan balik dari pasukan Ukraina di wilayah itu.
Sejak pekan lalu, Ukraina telah melancarkan serangan balasan ke beberapa arah di Kherson, Ukraina selatan yang sebelumnya diduduki pasukan Rusia.
Kantor berita Rusia, TASS, melaporkan kepala otoritas Kherson, Kirill Stremousov mengatakan rencana referendum ditunda karena situasi keamanan.
Stremousov mengatakan bahwa serangan pasukan Ukraina di Jembatan Antonivskiy, Kota Kherson telah melumpuhkan lalu lintas penyeberangan di Sungai Dnieper, yang menghubungkan kedua sisi wilayah tersebut.
Video yang beredar selama sepekan terakhir menunjukkan Jembatan Antonivsky dihantam sejumlah ledakan.
Selain itu, ada rekaman lain yang diduga menunjukkan kesuksesan serangan pasukan Ukraina di depot amunisi Rusia di wilayah Kherson.
Baca juga: Update Perang Rusia Vs Ukraina Hari ke-195: Kremlin Berhenti Pasok Gas, Kyiv Tangkis Serangan Moskow
Dilansir The Guardian, pasukan Rusia mengambil alih wilayah Kherson pada awal Maret lalu.
Sejak itu, pasukan pendudukan Putin berusaha menggabungkan wilayah tersebut sebagai bagian dari Rusia.
Meski referendum dilakukan, keputusannya akan dianggap tidak sah oleh majelis umum PBB.
Peristiwa serupa juga dilakukan Rusia kepada Krimea pada 2014 silam.
Ukraina sendiri berjanji akan merebut kembali wilayah Kherson agar tidak diklaim oleh Rusia.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky menegaskan jalur negosiasi untuk mengakhiri perang dengan Rusia akan ditutup jika referendum dilakukan.
Serangan di Kherson
Kementerian Pertahanan Inggris menjelaskan ringkasan situasi medan perang di Kherson dalam pembaruannya, Selasa (6/9/2022).
Operasi ofensif Ukraina di wilayah Kherson berlanjut selama akhir pekan.
Media lokal Odessa Journal melaporkan adanya 27 serangan mendadak oleh drone Rusia di tepi barat Dnipro pada Senin (5/9/2022).
Sebelumnya, pada 21 Agustus 2022, pasukan Ukraina mengaku menembak jatuh tiga UAV taktis Orlan-10 Rusia dalam satu hari.
Kementerian menyoroti peran pesawat tak berawak (UAV) atau drone Rusia dalam menemukan target artileri sebelum melancarkan serangan.
"Dalam menghadapi kerugian tempur, kemungkinan Rusia sedang berjuang untuk mempertahankan stok UAV, diperburuk oleh kekurangan komponen akibat sanksi internasional."
"Ketersediaan terbatas UAV pengintai kemungkinan menurunkan kesadaran situasi taktis komandan dan semakin menghambat operasi Rusia," jelas pembaruan, dikutip dari The Guardian.
Sementara itu, penasihat senior presiden Ukraina mengklaim pasukan Kyiv juga sedang melakukan serangan balasan di timur dan tenggara.
"Tindakan kontra-ofensif oleh Angkatan Bersenjata Ukraina terjadi tidak hanya di selatan Ukraina, tetapi juga di timur dan tenggara," kata Oleksiy Arestovych di saluran Telegramnya pada Senin (5/9/2022) malam waktu setempat.
Baca juga: Hubungan Dengan Barat Putus, Rusia Pilih Berkawan Dengan Negara-negara Timur
Baca juga: Rusia akan Beli Jutaan Roket dan Peluru Artileri dari Korea Utara untuk Perang di Ukraina
Arestovych menjelaskan militer berhasil membebaskan beberapa pemukiman di tepi barat Sungai Dnieper, sejak awal serangan balik untuk merebut kembali Ukraina selatan.
Arestovych mengklaim pasukan Rusia di tepi kanan Dnieper berada dalam "pengepungan operasional" dan memperkirakan bahwa dalam sebulan posisi mereka akan "sangat sulit".
Sementara itu, Inggris memperkirakan 25.000 tentara Rusia tewas selama serangan balik Ukraina, jelas Menteri Pertahanan Ben Wallace.
Lalu, menurut Wallace, total kerugian Moskow meliputi tentara yang tewas, terluka, ditangkap atau dari mereka yang telah meninggalkan berjumlah 80.000.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)