TRIBUNNEWS.COM - Ribuan pengunjuk rasa memadati pusat Kota London untuk mendesak pemerintah agar Inggris kembali menjadi anggota Uni Eropa (UE), Sabtu (22/10/2022).
Masyarakat melakukan pawai dari Park Lane ke Parliament Square selama aksi demonstrasi tersebut.
Aksi ini diikuti pengunjuk rasa dari seluruh wilayah Inggris, lapor The Guardian.
Di Parliament Square Garden, para demonstran mengibarkan bendera Uni Eropa dan membawa plakat protes.
Beberapa plakat itu bertuliskan: "Brexit tidak akan pernah berhasil", "Untuk tagihan yang lebih rendah #rejointheEU" dan "Kami memilih romaine".
Nikki Ajibade, seorang guru berusia 60 tahun dari Warwickshire, mengikuti demo bersama saudara perempuannya.
Baca juga: Jelang Pemilihan PM Inggris, Boris Johnson dan Rishi Sunak Gelar Pembicaraan Empat Mata
"Kami merasa sangat yakin bahwa situasi yang kami hadapi sekarang, Anda dapat melacaknya kembali langsung ke referendum 2016, yang seharusnya merupakan Advisory Referendum (keputusannya tidak mengikat)," kata dia.
"Itu bukan hasil supermayoritas, 52 dan 48 bukanlah sesuatu yang bisa Anda ubah sepenuhnya dan mengacaukan seluruh negeri. Lihatlah enam tahun di mana kita berada. Jadi kami merasa sangat kuat bahwa kami perlu mendapatkan pemerintahan yang masuk akal, pemilihan umum sekarang, karena banyak orang bertengkar seperti tikus di dalam karung," imbuhnya.
Ketika ditanya soal Boris Johnson yang ingin maju sebagai calon perdana menteri, Ajibade mengatakan itu adalah hal yang konyol.
"Ini penghinaan terhadap bangsa. Ini adalah penghinaan yang sebenarnya bagi orang-orang Inggris bahkan menyebut namanya sebagai calon yang mungkin," ungkapnya.
Kerumunan menyoraki layar besar di Parliament Square Garden yang menunjukkan foto-foto tokoh yang akan mengikuti pemilihan, seperti Boris Johnson, Priti Patel, dan Nigel Farage.
Oliver Jackson, seorang pekerja gudang berusia 26 tahun dari Dorset, mengatakan penting bagi politisi untuk mendengarkan publik yang ingin bergabung kembali dengan UE.
"Kita perlu membuat suara kita didengar. Dan terutama selama semua kekacauan ini, kita tidak bisa membiarkan ini dibiarkan begitu saja. Sejujurnya, cara terbaik untuk mengembalikan Inggris ke jalurnya adalah dengan bergabung kembali, paling tidak, pasar tunggal dan kemudian UE."
"Brexit telah menjadi kematian lambat yang telah membuat Inggris mengering selama bertahun-tahun," ujarnya.
Kerumunan juga meneriakkan "Tories out" dan mencemooh ketika pembicara membahas prospek Johnson mencalonkan diri menjadi perdana menteri lagi.
Tony Harold (44) dari Poole, yang bekerja di pasar saham, mengatakan bahwa Brexit memengaruhinya karena ia memiliki properti di Spanyol.
Senada dengan Harold, Joshua Allotey (57) dari Winchester, yang bekerja untuk otoritas lokal, percaya bahwa Inggris akan terus menderita karena telah meninggalkan UE.
"Meninggalkan (UE) adalah kesalahan yang buruk."
"Ini sudah banyak merugikan Inggris. Dan kecuali kita kembali, itu akan terus merugikan kita. Itu didorong oleh ideologi dan sebenarnya tidak dirancang untuk membantu Inggris. Kami lebih baik di dalam UE."
"Dalam jangka panjang, kami akan menderita karena kami tidak dapat menjual dan membeli dari Eropa, yang merupakan pasar terbesar kami," keluh Allotey.
Boris Johnson Tak Diinginkan
Anggota senior Partai Konservatif berusaha menghentikan langkah Boris Johnson untuk mengikuti pemilihan menjadi perdana menteri Inggris setelah pengunduran diri Liz Truss.
Sejumlah tokoh Tories menganggap Johnson akan menyebabkan krisis ekonomi lebih lanjut dan kematian bagi Partai Konservatif, lapor Guardian.
Tim Johnson pada Sabtu lalu mengklaim telah mengantongi dukungan dari 100 anggota parlemen, sebagai syarat untuk mengikuti perlombaan kepemimpinan.
Pernyataan itu segera dibantah oleh anggota parlemen dan sumber kampanye saingan.
Johnson merilis foto saat sedang melobi seorang anggota parlemen di telepon, tetapi sekutunya pada Sabtu malam tidak dapat mengonfirmasi apakah Johnson resmi memasuki kontes setelah digulingkan beberapa bulan lalu.
Di sisi lain, eks Menteri Keuangan Rishi Sunak juga sedang berusaha untuk mendapatkan dukungan dari anggota parlemen.
Dilansir CNN, Johnson dan Sunak mengadakan pembicaraan empat mata menjelang pemilihan calon PM.
Sumber BBC mengatakan pertemuan itu terjadi tetapi "tidak diungkapkan apa yang mereka diskusikan."
Sementara kantor berita PA Media melaporkan keduanya "dikatakan terkunci dalam pembicaraan hingga larut malam Sabtu."
Sky News menyebut pertemuan itu sebagai "pertemuan rahasia."
Jika salah satu, atau kedua orang itu memutuskan mencalonkan diri, mereka akan melawan Pemimpin House of Commons Penny Mordaunt, Anggota Parlemen pertama dan sejauh ini satu-satunya yang secara resmi memasuki perlombaan.
Baca juga: Mundur dari Posisi Perdana Menteri Inggris, Liz Truss Dapat Tunjangan Rp2 Miliar per Tahun
Dalam pemilihan kepemimpinan Partai Konservatif sebelumnya setelah Johnson digulingkan, Truss berada di urutan pertama, disusul Rishi Sunak lalu Mordaunt.
Graham Brady, pejabat Konservatif yang bertanggung jawab atas proses tersebut, mengatakan setiap kandidat harus menerima setidaknya 100 dukungan dari anggota parlemen partai pada Senin pukul 14.00 waktu setempat.
Ambang batas secara efektif mempersempit calon potensial menjadi maksimal tiga karena partai memiliki 357 anggota parlemen.
Jika hanya satu kandidat yang memenuhi ambang batas itu, mereka secara otomatis akan menjadi pemimpin.
Jika tidak, kandidat yang tersisa akan dimasukkan ke pemungutan suara online oleh anggota Partai Konservatif yang akan ditutup pada Jumat, 28 Oktober mendatang.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)