TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Serbia dan Kosovo kembali di ambang perang menyusul meningkatnya ketegangan di wilayah utara Kosovo yang dihuni mayoritas etnis Serbia.
Pemerintah Rusia mengkhawatirkan perkembangan di Kosovo, yang memanas akibat kesalahan otoritas etnik Albania Kosovo dan sponsor barat mereka.
Tudingan disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova. Menurutnya, penguasa Kosovo di Pristina memprovokasi situasi atas dukungan AS dan Uni Eropa.
Kekerasan bermotif etnis menargetkan sisa orang Serbia di provinsi yang memisahkan diri dan berusaha mencari aksesi ke Uni Eropa itu.
Perdana Menteri Albin Kurti berusaha untuk mengalihkan perhatian dari kebijakan domestik yang gagal dengan bermain api, memicu histeria Serbofobia.
“Kurti meningkatkan ketegangan mendekati konflik bersenjata,” kata Zakharova, Senin (12/12/2022).
Baca juga: Ratusan Polisi Kosovo Banjiri Kota Basis Etnis Serbia di Mitrovica
Baca juga: Presiden Serbia : Pengakuan Merkel Tunjukkan Kekuatan Barat Tak Bisa DIpercaya
Baca juga: Sejarah Panjang Konflik Kosovo-Serbia, Perang Berhenti Diintervensi NATO
Hanya kesabaran warga Serbia setempat dan pemerintah Beograd yang bisa mencegah kekerasan terbuka.
“Kami berdiri dalam solidaritas dengan kepemimpinan Serbia,” kata Zakharova, mendukung posisi Beograd.
Kosovo Albania dan barat menurut Zakharova secara sinis mengabaikan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1244, perjanjian Brussel dan Washington.
Resolusi PBB mengatur kehadiran NATO di provinsi tersebut setelah pengeboman Serbia pada 1999, sementara perjanjian Brussel 2013 membayangkan otonomi bagi etnis Serbia yang tersisa.
UNSCR 1244 secara jelas mengatur agar Serbia mengirim pasukan keamanannya ke provinsi tersebut.
Zakharova secara khusus menyebut pernyataan Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock yang menyebut penempatan tentara Serbia sama sekali tidak dapat diterima.
Serbia mengecam pernyataan Menlu Jerman itu sebagai tidak masuk akal.
“Kami akan terus membantu Beograd membela kepentingan nasional yang sah sehubungan dengan Kosovo berdasarkan UNSCR 1244, yang tetap berlaku tanpa kecuali,” kata Zakharova.
Alih-alih menekan etnis Albania untuk mematuhi perjanjian yang ditandatangani, AS dan UE telah secara terang-terangan menyabotase dokumen Brussel, sementara lebih memilih praktik kejam untuk mengintimidasi dan menyalahkan Serbia Kosovo.
Bulan lalu, Brussel dan Washington berhasil membujuk Pristina untuk membatalkan rencananya untuk melarang pelat nomor Serbia.
Kedamaian relatif berlangsung kurang dari dua minggu, sebelum polisi Kosovo etnis Albania dikerahkan di wilayah mayoritas Serbia.
Perdana Menteri Serbia mengklaim negaranya berada di ambang perang dengan Kosovo karena tindakan Perdana Menteri Kosovo dan kelambanan Uni Eropa.
Ledakan dan suara tembakan terdengar lagi di wilayah yang memproklamasikan kemerdekaan terpisah dari Beograd.
Eskalasi lain di utara Kosovo dimulai pada 10 Desember setelah penahanan mantan polisi Serbia Dejan Pantic oleh lembaga penegak hukum Kosovo.
Pihak berwenang menuduh Pantic melakukan terorisme, dengan mengatakan dia diduga melakukan serangan terhadap petugas polisi Kosovo bersama dengan anggota kelompok criminal.
Setelah penangkapannya, pengunjuk rasa Serbia, yang ingin mencegah pemindahannya ke Pristina, mendirikan barikade di utara Kosovo.
Barikade itu memblokir lalu lintas melalui dua penyeberangan perbatasan utama ke arah Serbia.
Pada saat yang sama, polisi Kosovo memblokir pintu masuk dari pihak mereka ke pos pemeriksaan Yarine. Tembakan terdengar di beberapa pemukiman.
Pasukan Misi Khusus UE (EULEX) dan NATO (KFOR) telah tiba di penyeberangan di Kosovo utara.
Beograd mengklaim akan mempertimbangkan pengerahan pasukan tentara dan polisi Serbia ke Kosovo, sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB.
Jika disetujui, ini mungkin permintaan pertama dari Beograd sejak akhir perang 1998-1999.
Situasi di wilayah tersebut diperburuk keputusan yang baru-baru ini diumumkan oleh republik yang tidak diakui itu untuk mengajukan keanggotaan UE pada akhir 2022.(Tribunnews.com/Southfront/RussiaToday/xna)