Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, WELLINGTON - Harga telur telah melonjak di seluruh dunia selama setahun terakhir akibat flu burung yang mematikan banyak ayam dan dampak perang di Ukraina telah mendorong harga energi dan pakan ternak.
Dikutip dari CNN, harga telur di Amerika Serikat jauh melampaui kenaikan harga bahan makanan lainnya, melonjak hampir 60 persen pada Desember tahun lalu. Sedangkan di Jepang, harga telur grosir telah mencapai rekor tertinggi.
Di Selandia Baru, yang konsumsi telur per orang lebih banyak dibandingkan negara kebanyakan, kekurangan pasokan telur diperparah oleh perubahan peraturan pertanian di negara itu.
Sementara kenaikan biaya telah memicu fenomena lain, yaitu orang-orang di Selandia Baru mulai membeli ayam secara online sehingga mereka dapat mengamankan persediaan bahan pokok dapur mereka.
Baca juga: Krisis Telur di Malaysia Dorong India Jadi Pengekspor Telur Tertinggi
Pada Selasa (17/1/2023), situs lelang lokal populer Trade Me mengungkapkan hasil penelusuran ayam dan peralatan yang berkaitan dengan perawatan unggas tersebut melonjak 190 persen sepanjang bulan ini, dibandingkan dengan periode yang sama pada bulan lalu.
“Sejak awal Januari, kami telah melihat lebih dari 65.000 pencarian ayam dan barang-barang terkait ayam lainnya, seperti tempat makan, kandang, dan makanan,” kata juru bicara Trade Me, Millie Silvester.
Menurut seorang pemilik toko roti di dekat kota kota Christchurch, Ron van Til, semua orang berlomba-lomba membeli ayam agar bisa mendapatkan pasokan telur. Sementara itu, kekurangan telur juga menyebabkan pembuat roti di Selandia Baru harus memutar otak.
“Semua masyarakat sekarang berusaha membeli ayam untuk rumah karena mereka tidak bisa mendapatkan telur,” kata Ron van Til, yang mengaku dia harus menyesuaikan resepnya dalam membuat kue dan muffin akibat krisis telur yang sedang terjadi.
Van Til juga mengaku, saudara perempuannya menjual "empat ekor ayam " melalui Trade Me, dengan harga lebih dari dua kali lipat dari harga biasanya.
Tren ini telah mendorong pendukung kesejahteraan hewan untuk memperingatkan agar warga Selandia Baru tidak melakukan pembelian secara impulsif.
“Ayam hidup untuk waktu yang lama,” kata CEO Society for the Prevention of Cruelty to Animals (SPCA) di Selandia Baru, Gabby Clezy.
“Mereka hidup dari delapan hingga 10 tahun, terkadang bahkan lebih lama tergantung pada rasnya," tambahnya.
Clezy juga mencatat, ayam betina tidak bertelur sepanjang hidup mereka, dan kebiasaan bertelur mereka bergantung pada faktor-faktor seperti usia dan iklim tempat mereka tinggal.
“Jadi jika orang mendapatkan ayam semata-mata karena (mereka pikir) mereka akan memiliki persediaan telur permanen, itu tidak benar. Kami meminta orang-orang untuk menganggap mereka sebagai hewan pendamping, yang mana mereka," ungkap Clezy.
Trade Me juga mendesak pelanggan di situsnya untuk memikirkan terlebih dahulu dampak dan risiko sebelum melakukan pembelian apa pun.
“Penting bagi anggota kami untuk menyadari tanggung jawab yang datang dengan memiliki ayam, dan mempersiapkan diri dengan baik untuk merawat mereka,” kata Silvester dalam sebuah pernyataan.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), siapa pun yang berencana memiliki kandang ayam di rumah, mereka harus berhati-hati saat menangani hewan dan telurnya terutama karena risiko bakteri yang terkait dengan salmonella.
Baca juga: Harga Terbaru Telur Ayam di Wilayah Indonesia Hari Ini, 7 Januari 2023
Kekurangan telur di Selandia Baru telah dikaitkan dengan perubahan yang telah lama diantisipasi dalam undang-undang pertanian, yang mulai berlaku pada 1 Januari tahun ini.
Undang-undang tersebut melarang produksi telur dari ayam yang disimpan di konvensional atau "kandang baterai", yang biasanya memiliki ruang logam sempit yang tidak memberikan kesejahteraan yang memadai untuk ayam, menurut SPCA.
Itu sebabnya pada 2012, pemerintah Selandia Baru mengumumkan pelarangan kandang baterai.
Namun "masa transisi 10 tahun dari kandang konvensional diperkenalkan, untuk memberi waktu bagi produsen telur untuk mengubah praktik peternakan", ujar perwakilan Kementerian Industri Primer Selandia Baru, Peter Hyde.
“Produsen telur memiliki opsi untuk pindah ke kandang koloni, lumbung, dan sistem kandang bebas,” tambah Hyde.
Hyde mengatakan, selama 18 bulan terakhir, kementerian telah “berhubungan secara teratur dengan operator, dan mengunjungi peternakan yang perlu transisi".
Baca juga: Antisipasi Krisis Pangan, Wapres Minta Pemanfaatan Lahan untuk Pengembangan Jagung
Meski dengan waktu tenggang yang lama, larangan tersebut telah menyebabkan gangguan pasokan, menurut keterangan dari beberapa pelaku bisnis.
Jaringan supermarket Selandia Baru, Foodstuffs, baru-baru ini memberlakukan batasan sementara pada berapa banyak telur yang dapat dibeli setiap pelanggan.
"Ini adalah perubahan signifikan bagi industri pasokan telur. Kami bekerja sama dengan pemasok telur untuk meningkatkan penawaran kami pada jenis telur lainnya," kata kepala humas perusahaan, Emma Wooster.
Jaringan supermarket lainnya, Countdown, mengatakan meskipun saat ini tidak memberikan batasan penjualan telur, perusahaan akan mendorong pelanggan untuk "hanya membeli apa yang mereka butuhkan" untuk memastikan pasokan yang cukup untuk semua orang.