TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Media asing yang berbasis di Inggris, Daily Mail mengungkapkan kekhawatiran pakar asing Gunung Merapi di Jawa Tengah akan meletus.
Apalagi jika letusan itu dalam skala besar akan berdampak pada perekonomian global.
Gunung Merapi berada sekitar 1.861 km dari Selat Malaka yang disebut sebagai rute strategis perdagangan dunia.
Sekitar 9.000 kapal melakukan perjalanan di jalur air tersebut setiap tahun untuk membawa biji-bijian, minyak mentah, dan setiap komoditas pasar.
Letusan dahsyat Gunung Merapi dikhawatirkan mengeluarkan awan abu setinggi 33 km, di atas rute yang melayani 40 persen perdagangan global itu.
Letusan tersebut juga akan menyelimuti bumi dalam musim dingin vulkanik selama tiga tahun.
Baca juga: Update Status Gunung Berapi di Indonesia: Semeru dan Merapi Siaga, 17 Gunung Waspada
Menurut peringatan keras dari para peneliti di Universitas Cambridge, Inggris, penurunan suhu yang dramatis akan menyebabkan kekurangan pangan global, inflasi dan ketidaknormalan iklim.
Jika sampai terjadi, bencana itu akan merugikan dunia sekitar 2,51 triliun dolar AS.
Gunung Merapi sendiri sempat mengalami letusan dahsyat pada 1006, yang memusnahkan seluruh kerajaan Hindu yang pernah ada di Jawa Tengah.
Merapi terakhir meletus pada 2010, yang menyemburkan abu vulkanik lebih dari 600 meter di atas kawah dan menewaskan 353 orang.
Tim dari Universitas Cambridge telah merilis laporan tentang potensi skenario kiamat saat Gunung Merapi meletus.
Awan abu akan terbawa jauh beberapa kilometer ke sejumlah bandara di sekitar Indonesia, Malaysia, dan Singapura, menghentikan semua aktivitas penerbangan.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan Nature pada 2021, wilayah tersebut merupakan salah satu penerbangan tersibuk di dunia.
Ini juga akan menghentikan kegiatan turisme di seluruh dunia, yang bisa menyebabkan kerugian miliaran dolar AS.
“Secara global, suhu akan turun hingga 1 derajat Celsius selama tiga tahun, menghasilkan kelainan iklim yang parah dan menyebabkan kekurangan pangan global yang besar,” bunyi laporan Universitas Cambridge itu.
“Pola curah hujan yang tak dapat diprediksi dan suhu musim panas yang rendah dapat menyebabkan gagal panen besar-besaran di seluruh dunia,” tambahnya.
Menurut laporan tersebut, hal itu akan menyebabkan melonjaknya harga pangan dan tingginya inflasi global pada bulan-bulan musim panas di tahun kedua.
“Baru pada awal tahun ketiga setelah letusan, kemajuan teknologi menyusul krisis dan membantu menyeimbangkan kembali pasokan dan permintaan pangan global,” tambahnya.
Sumber: Daily Mail/Kompas.TV