TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dulu sejak perang dunia kedua hingga awal tahun 2000-an, Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai negara adikuasa dunia.
Hampir semua negara berkiblat kepada AS.
Kini tampaknya masa-masa kejayaan AS akan mulai berakhir.
China kini jadi primadona.
Buktinya? Dalam sebulan terakhir, sejumlah kepala negara dari berbagai belahan dunia datang ke China menemui pemimpin tertinggi negara itu Presiden Xi Jinping.
Sebutlah diantaranya Presiden Filipina Ferdinand Romualdez Marcos Jr, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez, dan beberapa kepala negara lainnya.
Baca juga: Sinyal Perang di Asia Kian Memanas, Kapal Perang AS Tampakan Diri di Selat Taiwan Bikin China Murka
Dikutip dari CNN, kunjungan para kepala negara duni ini dianggap sebagai aktivitas diplomatik yang tidak biasa yang terjadi ketika berbagai negara memandang Beijing karena ekonomi global tersendat-sendat setelah pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina.
Xi Jinping juga secara mengejutkan mengunjungi Rusia dan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Namun yang tak kalah mengejutkannya adalah kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke China.
Presiden Prancis yang merupakan sekutu dekat Amerika dijamu secara khusus oleh China dengan penyambutan berupa parade militer khusus sebagai penghormatan pada 11 April 2023.
Usai mengunjungi China, Macron memberikan pernyataan yang tak banyak disangka dunia.
Macron secara khusus meminta Eropa harus mengurangi "ketergantungannya" pada Amerika Serikat (AS).
Bahkan dia meminta Eropa harus menghindarkan diri dari terseret ke dalam konfrontasi antara China dan AS terkait Taiwan.
Komentar Macron telah memicu reaksi keras di Eropa dan AS, tetapi para analis mengatakan komentar tersebut kemungkinan besar dilihat sebagai kemenangan bagi Beijing.
"Segala sesuatu yang dapat melemahkan AS, memecah belah Barat, dan membuat negara-negara lain lebih dekat dengan Cina adalah baik untuk Xi," kata seorang profesor ilmu politik di Hong Kong Baptist University, Jean-Pierre Cabestan.
"Oleh karena itu, perjalanan Macron dilihat di Beijing sebagai kemenangan besar," lanjutnya.
Seorang profesor hubungan internasional di Nanyang Technological University Singapura, Li Mingjiang mengatakan para pemimpin Tiongkok) percaya bahwa sekarang adalah waktunya bagi Tiongkok untuk membuat rencana strategisnya.
"Hasil yang berpotensi baik adalah melemahkan aliansi Amerika. Jadi itulah mengapa kita melihat upaya-upaya yang cukup berat yang dilakukan oleh Beijing untuk mencoba menstabilkan dan meningkatkan hubungan dengan negara-negara Eropa, dan juga mencoba meningkatkan dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara berkembang," tambahnya.
Yang tak banyak diprediksi banyak pihak, beberapa pekan lalu China berhasil mendamaikan dua negara Timur Tengah yakni Iran dan Arab Saudi yang selama ini dikenal musuh bebuyutan.
China berada di balik rekonsiliasi itu, bukan AS, Rusia, atau Eropa. Padahal, sebelum ini tidak terdengar dan tidak terlihat di permukaan tentang manuver China yang berusaha mendamaikan Iran-Arab Saudi itu.
Baca juga: Menlu Arab Saudi dan Iran Bertemu di Beijing, China Jadi Mediator Hubungan Diplomatik
Kekuatan China Tak Terbendung
China sering disebut-sebut sebagai raksasa ekonomi dunia baru.
AS awalnya mendominasi namun saat China masuk, kekuatannya seolah tak terbendung lagi.
Reformasi ekonomi sejak 1978, dianggap membuat China jadi negara adidaya.
Bahkan dilansir CNBC, pada 2010, China mengambil alih posisi Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Beberapa ekonom lantas memprediksi ekonomi China akan melesat melampaui AS pada 2030.
Sejarah Reformasi Ekonomi China
Kesuksesan China ini berawal diawali dengan serangkaian reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping (1978-1989).
Reformasi ini membawa perekonomian China yang dulu terisolasi menjadi lebih terbuka.
Sejak itulah ekonomi China tumbuh 10 persen rata-rata per tahun.
Dalam waktu tiga dekade, China telah berhasil mengalami kemajuan di bawah kepemimpinan empat presiden, Deng Xiaoping, hingga Xi Jinping.
Ini juga didorong jaringan pabrik yang memproduksi berbagai macam hal, mulai dari mainan hingga telepon genggam.
Masuknya China ke organisasi perdagangan dunia (WTO) pada 2001 semakin mengukuhkan posisi China sebagai bagian dari pusat manufaktur dan perdagangan dunia.
China bahkan menjadi destinasi ekspor terbesar 33 negara dan sumber impor terbesar bagi 65 negara.
Investasi China juga terus tumbuh. Dalam periode 2015-2017 saja, China menjadi sumber investasi terbesar kedua di dunia dan menjadi penerima aliran investasi terbesar kedua di dunia.
Faktor Majunya Ekonomi China
Bloomberg Economics menyebut, majunya ekonomi China sulit ditiru negara Asia lain karena mereka masih berkutat dengan masalah struktural.
Infrastruktur yang tidak memadai dan ketidakstabilan politik jadi kendala utama. Namun China, sudah tak memusingkan itu.
Mereka memiliki jaringan pabrik, pemasok, layanan logistik, dan infrastruktur transportasi.
Ini didukung uang dan teknologi dari Jepang, Taiwan, dan Hong Kong.
China juga punya tenaga kerja yang banyak, murah, cerdas, dan mendapatkan akses hampir tanpa batas ke pasar global selama tiga dekade ini.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com