TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Populasi China turun pada tahun lalu untuk pertama kalinya dalam enam dekade, ini merupakan perubahan bersejarah yang disebut menandai dimulainya periode panjang penurunan populasi.
Namun implikasinya dinilai 'mendalam' bagi ekonomi negara itu sendiri dan dunia.
Biro Statistik Nasional negara itu melaporkan, di tengah banyaknya masyarakat yang mulai 'menua' dan angka kelahiran yang anjlok, populasi China menurun sekitar 850.000 menjadi hampir 1,411 miliar pada akhir tahun 2022.
Angka-angka tersebut hanya mewakili penduduk China daratan, tidak termasuk Hong Kong dan Macau serta penduduk asing.
Dikutip dari laman ABC News, Senin (22/5/2023), dalam pengarahan beberapa waktu lalu, biro tersebut melaporkan 9,56 juta kelahiran dibandingkan 10,41 juta kematian.
Dalam jangka panjang, para Ahli Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperkirakan populasi China menyusut hingga 109 juta pada 2050.
Angka ini lebih dari tiga kali lipat penurunan jika dibandingkan dengan prediksi mereka sebelumnya pada 2019.
Sementara itu, Ahli Demografi domestik, Yi Fuxian mengeluhkan bahwa 'China akan menjadi tua sebelum menjadi kaya'.
Bahkan negara itu diperkirakan memperlambat ekonominya sendiri karena pendapatan turun dan utang pemerintah meningkat lantaran melonjaknya biaya kesehatan dan kesejahteraan.
"Prospek demografis dan ekonomi China jauh lebih suram dari yang diperkirakan. China harus menyesuaikan kebijakan sosial, ekonomi, pertahanan dan luar negerinya," kata Yi.
Ia menambahkan bahwa penyusutan tenaga kerja negara itu dan penurunan bobot manufaktur akan semakin memperburuk melambungnya harga dan inflasi tinggi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Warisan 'kebijakan satu anak'
Sebagian besar penurunan demografis terbaru merupakan hasil dari 'kebijakan satu anak' China yang diberlakukan sejak 1980 hingga 2015.
Tidak hanya itu, biaya pendidikan yang sangat tinggi pun turut membuat banyak orang China tidak mau memiliki lebih dari satu anak, atau tidak sama sekali (childfree).
Sejak meninggalkan kebijakan tersebut, China berupaya mendorong keluarga untuk memiliki anak kedua atau bahkan ketiga, namun upaya ini hanya menunjukkan sedikit keberhasilan.
Biaya mahal dalam membesarkan anak-anak di banyak kota di China sering disebut sebagai penyebabnya.
Ini mencerminkan sikap pada sebagian besar Asia Timur, di mana angka kelahiran turun drastis.
Tingkat kelahiran China pada tahun lalu hanya 6,77 kelahiran per 1.000 orang, angka ini turun dari tingkat 7,52 kelahiran pada 2021 dan menandai tingkat kelahiran terendah dalam catatan.
Sejak 2021, pemerintah daerah telah meluncurkan langkah-langkah untuk mendorong agar masyarakatnya memiliki lebih banyak bayi, termasuk pengurangan pajak, cuti melahirkan yang lebih lama dan subsidi perumahan.
Baca juga: Tingkat Populasi Anjlok, China Luncurkan Proyek Pernikahan Era Baru dan Budaya Melahirkan
Pada Oktober tahun lalu, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa pemerintah akan memberlakukan kebijakan pendukung lebih lanjut.
"Laki-laki China terus melebihi jumlah perempuan dengan 722,06 juta menjadi 689,69 juta," kata biro itu.
Ini merupakan hasil lainnya dari 'kebijakan satu anak' dan preferensi tradisional agar keturunan laki-laki meneruskan nama keluarga.
Penurunan populasi dapat membawa tantangan Produk Domestik Bruto (PDB)
Terakhir kali China diyakini telah mencatat penurunan populasi adalah selama Lompatan Jauh ke Depan pada akhir 1950-an.
Ini terjadi saat 'dorongan bencana' Presiden terdahulu China Mao Zedong untuk pertanian kolektif dan industrialisasi menghasilkan kelaparan besar-besaran yang menewaskan puluhan juta orang.
Biro itu mengatakan bahwa orang China usia produktif yakni 16 hingga 59 tahun saat ini berjumlah 875,56 juta, terhitung 62 persen dari populasi nasional.
Sementara mereka yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah 209,78 juta, terhitung 14,9 persen dari total populasi.
Statistik juga menunjukkan peningkatan urbanisasi di negara itu hingga saat ini sebagian besar merupakan kawasan pedesaan.
Selama 2022, populasi perkotaan permanen meningkat sebesar 6,46 juta hingga mencapai 920,71 juta atau 65,22 persen, sedangkan populasi pedesaan turun sebesar 7,31 juta.
Dalam sebuah pernyataan, biro itu mengatakan bahwa masyarakat China tidak perlu khawatir tentang penurunan populasi, karena 'pasokan tenaga kerja secara keseluruhan masih melebihi permintaan'.
Kendati demikian, biro tersebut juga merilis data yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi China turun ke level terendah kedua, setidaknya dalam empat dekade tahun lalu, di bawah tekanan dari langkah-langkah anti virus corona (Covid-19) dan kemerosotan real estate.
Data menunjukkan, ekonomi terbesar kedua di dunia itu tumbuh sebesar 3 persen pada 2022, kurang dari setengah tahun sebelumnya sebesar 8,1 persen.
Itu adalah tingkat tahunan terendah kedua, setidaknya sejak tahun 1970-an setelah 2020, saat pertumbuhan turun menjadi 2,4 persen pada awal pandemi Covid-19, meskipun aktivitas bangkit kembali setelah pembatasan nol-Covid.
China telah lama menjadi negara terpadat di dunia, namun 'gelar' ini diperkirakan akan segera diambil alih oleh India.
Perlu diketahui, populasi India diperkirakan mencapai lebih dari 1,4 miliar dan terus tumbuh, dengan PBB memperkirakan bahwa populasi negara di kawasan Asia Selatan itu akan menyusul China pada tahun ini.