News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Rusia Vs Ukraina

Klaim Dapat Tambahan 230 Ribu Pasukan, Eks-Presiden Rusia Sesumbar Ancam Ukraina Pakai Nuklir

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Dmitry Medvedev bertemu dengan anggota pemerintah di Moskow pada 15 Januari 2020. Pemerintah Rusia mengundurkan diri pada hari Rabu setelah Presiden Vladimir Putin mengusulkan serangkaian reformasi konstitusi, lapor kantor berita Rusia. Dmitry Medvedev kini menjabat sebagai Wakil Dewan Keamanan Rusia.

Klaim Dapat Tambahan 230 Ribu Pasukan, Eks-Presiden Rusia Sesumbar Ancam Ukraina Pakai Nuklir

TRIBUNNEWS.COM - Mantan Presiden Rusia yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Keamanan, Dmitry Medvedev, menyebut pemerintah sudah mendaftarkan lebih dari 230.000 personel tambahan ke dalam militer mereka sejak awal tahun ini.

Dmitry Medvedev mengatakan hal itu pada Kamis (3/8/2023) saat memberikan kabar pembaruan terkait upaya Rusia menjaring tenaga tambahan dari perekrutan militer. 

Moskow diketahui gencar melakukan program perekrutan militer tahun ini karena berusaha untuk mencegah serangan balasan Ukraina yang sedang berlangsung.

Baca juga: Gudang-Gudang Militer Dibombardir, Rusia Kekurangan Amunisi, Ukraina: Pasukan Musuh Kelelahan

Hal itu juga demi mempertahankan wilayah yang telah direbut Rusia selama konflik.

"Menurut Kementerian Pertahanan, dari 1 Januari hingga 3 Agustus... total lebih dari 231.000 orang telah diterima untuk bertugas dengan sistem kontrak," kata Medvedev, yang menjabat sebagai presiden Rusia dari 2008-2012.

September lalu, Presiden Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi militer "partial" - yang pertama di Rusia sejak Perang Dunia II - mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh negeri ketika ribuan orang direkrut menjadi tentara.

Tidak mau mengumumkan dorongan mobilisasi kedua, Moskow malah memilih serangkaian kegiatan public relations dengan memikat warga Rusia dengan insentif keuangan.

Pihak berwenang belum mengungkapkan target mereka, tetapi berbagai perkiraan mengatakan Moskow mungkin mencoba merekrut 400.000 sukarelawan.

Menteri Pertahanan Sergei Shoigu mengatakan tahun lalu jumlah tentara Rusia akan ditingkatkan menjadi 1,5 juta orang, karena Moskow terus maju dengan langkah ofensifnya di Ukraina.

Mantan pemimpin Rusia Dmitry Medvedev (kiri), sekutu Presiden Putin yang kini menjadi Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, mengunjungi pegunungan Prudboy di wilayah Volgograd, Rusia selatan, pada 1 Juni 2023. (Yekaterina SHTUKINA/SPUTNIK/ AFP)

Sesumbar Pakai Nuklir Terhadap Musuh Rusia

Sebelumnya, Dmitry Medvedev juga memberi peringatan terhadap Ukraina dan negara-negara Barat sekutunya, akan kemampuan Rusia menggunakan senjata nuklir.

Jika itu terjadi, Medvedev menyebut tak hanya Ukraina dan sekutunya, dunia juga akan merasakan dampak nuklir Rusia tersebut.

"Musuh-musuh kami harus berdoa kepada para prajurit kami agar mereka tidak membiarkan dunia terbakar nuklir," kata Medvedev di sebuah unggahan di Telegram, Minggu (30/7/2023).

Sesumbar Medvedev merujuk pada kemungkinan bila Rusia mengalami kekalahan atas serangan balasan Ukraina.

Penggunaan senjata nuklir, kata Medvedev, sudah menjadi aturan baku bilamana Rusia berada dalam terjepit dan keberadaan mereka terancam.

"Bayangkan jika serangan musuh (Ukraina) bersama NATO sukses dan berakhir dengan mengambil alih tanah kita. Maka kami harus menggunakan senjata nuklir berdasarkan ketentuan Keputusan Presiden Rusia," ucap Medvedev.

Koar-koar Medvedev soal penggunaan senjata nuklir oleh Rusia bukan hanya kali ini dia lontarkan.

Januari silam, Medvedev juga menyinggung soal perang nuklir jika pihak Moskow mengalami kekalahan perang dari Ukraina.

"Kekalahan dalam perang konvensional dapat memicu pecahnya perang nuklir. Kekuatan nuklir tidak pernah kalah dalam konflik besar di mana nasib mereka bergantung," ucap Medvedev dilansir Al Jazeera.

Ujaran soal terjadinya perang nuklir juga dia serukan terkait potensi hukuman yang diterima Rusia dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Ukraina.

"Gagasan untuk menghukum sebuah negara yang memiliki persenjataan nuklir terbesar tidak masuk akal," tulis dia di Telegram pada Juli 2022, seperti dikutip The Moskow Times.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini