Dia menggambarkan, menerima dukungan yang sangat besar dari para pendeta dan orang-orang lain di gereja yang secara sukarela tanpa kenal lelah sepanjang waktu membantu keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal.
Sejauh ini, gereja tersebut lolos dari rudal Israel.
“Militer Israel telah mengebom banyak tempat suci,” kata Pastor Elias, seorang pendeta di Saint Porphyrius.
Dia mengaku, tidak yakin Israel tidak akan mengebom gereja tersebut, meskipun gereja tersebut menyediakan perlindungan bagi ratusan warga sipil.
Bom Israel sejauh ini sudah menghantam beberapa masjid dan sekolah tempat penampungan orang-orang yang rumahnya hancur karena diledakkan.
"Setiap serangan terhadap gereja, tidak hanya merupakan serangan terhadap agama, yang merupakan tindakan keji, tetapi juga serangan terhadap kemanusiaan”, kata Pastor Elias.
“Kemanusiaan kita menyerukan kita untuk memberikan kedamaian dan kehangatan kepada semua orang yang membutuhkan,” katanya.
Tempat Pelipur Lara
Dibangun antara tahun 1150-an dan 1160-an, dan diberi nama sesuai dengan nama uskup Gaza pada abad ke-5, Saint Porphyrius mampu memberikan penghiburan bagi warga Palestina di Gaza, terutama di saat-saat ketakutan.
"Dan meskipun tangisan anak-anak dan mereka yang putus asa karena terus tinggal di Gaza di bawah pemboman Israel kini bergema di tempat yang dulunya dipenuhi dengan doa dan nyanyian pujian, masih ada harapan," tulis laporan tersebut.
Saat ini, halaman kuno dan koridor gereja tersebut menawarkan perlindungan bagi umat Islam dan Kristen.
"Karena perang tidak mengenal agama," kata Pastor Elias.
Bersama sebagai Warga Palestina, Muslim dan Kristen
George Shabeen, seorang Kristen Palestina -ayah dari empat anak yang tinggal di gereja bersama keluarganya- mengatakan mereka tidak punya tempat lain untuk pergi.
Jalan-jalan di lingkungan mereka telah menjadi sasaran tiga serangan udara Israel.
“Datang ke sini menyelamatkan hidup kami,” katanya kepada Al Jazeera.