Baraka, yang berasal dari Bani Suhaila, sebuah kota di sebelah timur Khan Younis, pindah ke pusat kota yang lebih besar karena berpikir akan lebih aman.
Namun pusat kesehatan yang dia kunjungi sebelumnya tidak menanggapi panggilannya setelah penduduk di wilayah timur dekat pagar perbatasan Israel semuanya telah melarikan diri.
“Bahkan dokter saya telah diusir dari rumahnya dan sangat sulit berkomunikasi dengannya,” katanya.
“Saya beruntung ibu saya selalu berada di sisi saya dan berusaha dengan caranya sendiri untuk membuat saya merasa tenang dan mengurangi stres.”
Namun hal itu tidak berhasil bagi Baraka, yang merasa lelah karena berduka atas foto dan video kematian anak-anak yang diberitakan.
Lebih dari 6.500 warga Palestina telah tewas dalam serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober, dua pertiga dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.
“Bisakah Anda bayangkan seperti ini nasib anak-anak kita?” ujar Baraka.
“Apa yang dialami para ibu di Gaza tidak pernah bisa dijelaskan.”
Kurangnya Perawatan dan Akses ke Fasilitas Kesehatan
Hancurnya jalan-jalan utama di Jalur Gaza membuat waktu yang dibutuhkan wanita hamil untuk mencapai beberapa rumah sakit menjadi lebih lama.
Perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa menit dengan mobil kini dapat memakan waktu berjam-jam, sehingga membahayakan kesehatan para ibu hamil.
“Suatu operasi dilakukan pada seorang wanita yang akan melahirkan dan mengalami pendarahan hebat,” kata Walid Abu Hatab, konsultan medis kebidanan dan ginekologi di Nasser Medical Complex di Khan Younis.
“Dia berada di jalan selama dua jam untuk mencoba mencapai Kompleks Medis Nasser."
"Setelah beberapa kali mencoba, kami berhasil mengendalikan pendarahan dan menyelamatkan nyawanya.”
Israel terus-menerus mengancam akan menargetkan rumah sakit dan berulang kali meminta staf rumah sakit dan puluhan ribu pengungsi Palestina yang mengungsi di fasilitas medis untuk pindah.
Staf medis menolak melakukan hal tersebut, dengan alasan tidak mungkinnya memindahkan pasien mereka.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)